Chapter 1 - Sebuah Janji

11 3 0
                                    

Entah berapa kali Anaya menghela napas berat. Di sampingnya masih begitu banyak berkas yang menumpuk. Berjejalan notifikasi yang mengingatkan deadline pengiriman berkas. Detik demi detik jarum jam yang juga ikut mengingatkannya, bahwa seharusnya dia sudah ada di rumah dan istirahat. Namun, Anaya memilih di sini bergelut dengan laptop. Bermalam di tempat kerja sudah menjadi bagian dari hidupnya. Sambil menatap layar laptop, tangannya meraih segelas air yang ternyata sudah kosong. Anaya menghela untuk kesekian kalinya. Dia rasa, dia membutuhkan sesuatu lebih dari air putih. Kopi hangat tidak terlalu buruk sepertinya.

Anaya merasa dirinya sebagai penjaga Rumah Sakit Jiwa sekarang. Sepanjang lorong benar-benar hanya dirinya seorang. Bahkan, Anaya hanya mendengar suara sepatunya saja. Ketika dia masuk dapur umum, dia hampir berteriak ketika melihat Gian.

"Saya mengagetkanmu, Dokter Anaya?" tanya Gian.

Anaya mendekatinya sambil memegang dadanya yang berdegup kencang." Saya hampir membangunkan seluruh pasien di lantai ini, Dok."

Gian hanya tertawa.

"Dokter lembur juga?"

"Iya, banyak sekali yang harus saya selesaikan." Gian meraih cup kopi, lalu mengulurkan pada Anaya. "Ambilah, Ana."

Anaya tertegun beberapa saat.

"Mau, tidak?"

"Ah, iya. Terima kasih, Dok." Anaya merasakan hangat ketika memegang cup kopinya.

"Saya sudah lama memegang RJS ini, hanya terhitung beberapa orang yang berani merelakan jam istirahatnya. Mengapa kamu mau menjadi salah satunya, Dokter Anaya?" Gian mengambil satu kapsul kopi lagi untuk dimasukkan ke dalam mesin.

Anaya ikut memperhatikan apa yang dilakukan Gian. "Saya hanya ingin melakukan yang terbaik untuk RSJ ini, Dok." Sekarang Anaya mengamati kopi kapsul tadi berubah menjadi cairan yang mengalir dari mesin.

Tanpa sadar, Gian sudah memutar tubuhnya untuk menghadap Anaya tepat. "Setulus itu?"

Anaya mengeratkan cup kopi yang dia genggam.

Gian melakah lebih dekat. "Sudah hampir satu tahun, jawabanmu masih sama. Benar setulus itu? Apa jaminannya kalau kamu tidak berkhianat suatu saat nanti?"

Anaya ikut melangkah mundur karena Gian benar-benar menghilangkan jarak di antara mereka. Dan kini, dia mendongak, menatap matanya. Anaya tersenyum. "Bahkan setelah apa yang saya lakukan di sini hampir satu tahun, belum cukup untuk meyakinkan Dokter Gian? Saya hanya bertanggung jawab dari apa yang saya pilih, Dok. Di sini, saya mempunyai harapan untuk hidup dan membantu orang lain untuk tetap hidup juga."

"Dokter selalu menanyakan hal yang sama berulang kali. Apa ada yang pernah berkhianat dengan dokter?"

Gian tertawa. Tawanya yang mengerikan. "Kamu sudah berani menembak pertanyaan, Ana."

Anaya ikut tertawa. "Sebenarnya aku sedikit tidak menyukai panggilan itu. Tapi, karena itu Dokter, tidak masalah." Anaya mengangkat bahuku asal.

"Saya menyukainya."

"Benarkah?" Anaya kembali menatapnya. "Apa itu pengakuan yang tulus?"

"Kamu mirip dengan seseorang, Dokter Anaya."

Mata mereka terpaku, seperti saling menyelami. Mencari-cari apa yang terasa abu-abu. Mata yang tajam milik Gian terlihat menyimpan begitu banyak hal misterius. Mata sendu dan terkadang berubah tajam milik Anaya pun juga sama. Penuh dengan tanda tanya.

Tatapan mereka terhenti ketika seseorang memasuki dapur. Anaya menggeser tubuhnya, begitu juga Gian.

"Dokter, itu kopinya sudah jadi."

SILAMWhere stories live. Discover now