[04] Nindya Carissa

91 10 0
                                    

Selama lima menit aku mengendarai motor, akhirnya aku tiba di perumahan tempat tinggal Nindy. Perumahannya memang tidak jauh dari rumah Karin, bahkan masih berada di jalan yang sama. Segera aku mengeluarkan handphone-ku untuk menelepon Nindy.

"Nin, gue udah sampe nih. Cepetan keluar. Sepi banget. Takut gue."

"Et dah. Cupu amat lu gitu doang takut. Bentar-bentar. Gue masih di kamar nih."

"Anjir. Kamar lu 'kan jauh, Nin. Lari dong."

"Buset, sabar. Gue lagi otw ini. Lima menit lagi sampe depan gerbang."

"Oh, ya udah. Gue matiin ya telponnya. Jangan di lama-lamain lu."

"Iya, iya. Et dah bocah ga sabaran amat."

Akhirnya aku menunggu Nindy di depan gerbang rumahnya, ditemani oleh motorku dan suasana yang benar-benar hening. Hawa dingin juga masih terasa dan terus membelai wajahku dengan lembut yang membuatku sedikit merinding. Rupanya suasana hujan yang telah berhenti sejak dua setengah jam yang lalu masih membekas sampai sekarang. Perumahan tempat tinggal Nindy yang sepi semakin membuat suasana menjadi mencekam. Dan beberapa saat kemudian, akhirnya terlihat Nindy yang sedang menarik pagar.

"Sepi banget, Nin. Ortu sama kakak-adek lu kemane?"

"Adek gue ikut ortu ke rumah bibi. Kakak gue lagi nginep di rumah temennya. Udah masuk dulu sini. Ngapa jadi ngobrol di luar."

"Oh iya juga," ucapku sambil menjalankan motorku masuk ke dalam halaman rumah Nindy. Kemudian Nindy pun menutup gerbang dan menguncinya menggunakan gembok kombinasi angka. "Cepetan naik sini. Gue boncengin sampe garasi."

"Wokey!" dengan gerakan cepat Nindy langsung menaiki motorku, yang membuatku sedikit terkejut karena hampir kehilangan keseimbangan.

"Anjir. Pelan-pelan woy!"

"Hahahahaha. Ya udah cepetan jalan. Marah-marah mulu lu dari tadi."

"Iya."

Akupun segera menarik gas dan menjalankan motor ini menuju garasinya yang lumayan jauh. Well, rumah Nindy memang sangat luas. Bahkan ketika pertama kali datang ke rumahnya, aku sempat tersasar. Bukan hanya halamannya saja yang luas, tapi bangunan rumahnya juga tidak kalah luas. Jadi, kalau aku tersasar itu hal yang wajar, 'kan?

***

Selama hampir sepuluh menit aku dan Nindy berjalan memasuki rumah ini, akhirnya aku tiba di dalam kamarnya. Kemudian kamipun duduk dipinggir kasur untuk mengistirahat kaki. Setetes peluh sebiji jagung mulai membasahi pipiku ketika aku baru saja sampai di sini. Ternyata melelahkan juga ya punya rumah sebesar ini.

"Maaf ya, Win. Lu jadi keringetan gini 'kan tuh gara-gara liftnya rusak."

"Santuy. Ngomong-ngomong, kapan liftnya dibetulin? Kalo begini terus 'kan capek juga. Apalagi kalo harus bolak-balik."

"Ortu gue besok siang balik. Kayaknya pas mereka pulang, mau langsung dibetulin."

"Oh, gitu. Repot juga ya ternyata kalo punya rumah gede. Hahaha," candaku. "Sekarang 'kan free day nih. Pacar lu nggak ngapel ke rumah?"

"Pacar gue mana mau di rumah cuma berduaan doang."

"Wadaw. Alim bener pacar lu."

"Bukan gitu. Takut khilaf katanya. Dia bilang nggak mau nge-unboxing gue sebelum dia nikahin gue."

"Oh, jadi pacar lu nafsuan?"

Lose | WINRINA / JIMINJEONGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang