Leo menghela nafas melihat kotak bekal yang berada diatas meja makan. Sudah berulang kali ia mengatakan pada hyung nya itu untuk tidak membuatkannya bekal, namun Zayyan tetap tak mengerti sama sekali. Dia bukan lagi seorang anak kecil yang membutuhkan bekal, saat ini dia sudah berada ditahun akhir SMA nya. Sangat memalukan membawa benda persegi itu didalam tasnya dan teman sekelasnya akan meledeknya jika mereka tahu.
Secarik kertas yang tertempel diatas bekal membuatnya berdecak.
'Jangan membuangnya, kumohon. Kau belum makan apapun.'
Meremat dengan kuat kertas itu lalu membuangnya.
Mengambil bekal itu dan menggenggamnya erat, pandangannya melihat tong sampah yang tak jauh darinya berdiri, hatinya ragu untuk memilih membuangnya atau tidak. Namun akhirnya memilih memasukkannya kedalam tas.
Leo berjalan malas dengan kaki sedikit menyeret menuju pintu. Sebenarnya ia sangat malas untuk bersekolah hari ini, namun karena peringatan dari sekolah seminggu lalu, yang membuat Hyung nya harus datang dan menemui wali kelas nya, ia terpaksa datang. Dia tak ingin hyung nya mendapatkan tatapan kasihan lagi dari wali kelas nya itu. Cukup sudah dengan polisi tua gemuk yang menghina hyung nya, tak ada lagi siapapun yang boleh.
.
.
.
"Kau sudah dengar itu, di desa kita ini ada pembunuh!"
"Benarkah? Aku tak percaya kita hidup berdampingan dengan orang mengerikan seperti itu!"
"Jangan membuat gosip! Polisi belum mengatakan apapun, bisa saja pembunuhnya orang luar desa ini."
"Tetap saja, ada pembunuhan yang terjadi! Dasar bajingan itu! Berani sekali dia membuat nama desa kita yang aman dan tentram, menjadi kacau seperti ini."
"Itu benar! Polisi harus segera menangkapnya! Aku jadi takut keluar malam."
Zayyan menunduk mendengar semua pembicaraan tiga wanita paruh baya didepannya. Berpura-pura tidak mendengarkan, namun telinganya fokus mendengarkan pembicaraan ketiganya.
Pagi ini seluruh desa gempar dengan kematian seorang gadis yang tadi pagi sempat ia dengar di radio. Orang-orang yang datang ke kedai kecilnya terus membicarakan hal itu. Kata umpatan tak henti-hentinya mereka layangkan kepada si pembunuh. Wajar saja jika mereka semua marah. Desa mereka telah mendapat predikat desa teraman di Korea, namun karena peristiwa pembunuhan itu nama desa menjadi tercemar.
"Kau tau siapa gadis itu?"
"Entahlah, wajahnya rusak parah, jadi tak ada yang mengenalnya. Tapi, kudengar anaknya Hyeri belum pulang sama sekali sejak tadi malam. Apakah itu mungkin dia?"
"Ssst, jangan berpikir seperti itu!"
Zayyan memilin jari-jarinya yang saling bertaut. Matanya melirik kesembarang arah, perkataan kedua wanita paruh baya itu membuatnya semakin takut. Pikirannya mencoba melupakan jika subuh tadi Leo pulang dalam keadaan mencurigakan. Tak mungkin itu Leo! Adiknya orang baik, dia hanya kurang kasih sayang. Mana mungkin Leo menghabisi nyawa orang.
Zayyan menggenggam kuat meja tempat dimana sayur-sayur yang ia jual berada. Mencoba mempertahankan dirinya agar tidak jatuh, kepalanya tiba-tiba pusing.
"Zayyan, apa kau memiliki lobak segar? Maksudku, coba lihat ini, ini sedikit layu." Bibi Jihyo menyodorkan lobak yang memang terlihat sedikit layu pada Zayyan.
Zayyan segera menyadarkan dirinya, mengangkat wajahnya dan tersenyum kecil pada Bibi Jihyo. Tangannya mengambil lobak dari tangan wanita itu dan menggantinya dengan yang lebih segar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Apate
FanfictionSelama 30 tahun terakhir tak pernah terjadi pembunuhan di Desa tempat Zayyan dan Leo tinggal. Namun suatu hari seorang gadis ditemukan tak bernyawa disebuah gendung terbengkalai di tengah hutan. SingZay @alteozy