Zayyan menyerahkan secarik kertas pada pria tua dihadapannya lalu membungkuk dan tersenyum cerah. Dia sangat bersyukur mempunyai Paman seperti orang dihadapannya ini yang selalu membantunya saat ingin menutup kedai kecil miliknya.
'Terima kasih atas bantuannya Ahjussi!'
Nam-il tersenyum kecil membaca tulisan di kertas yang ia terima. Berjalan mendekat, dan mengelus pelan kepala anak dihadapannya, melihat Zayyan mengingatkannya pada anak nya yang kini telah mempunyai hidup baru di kota. Selama lima tahun terakhir dia tak pernah memberi kabar. Dan Anak yang mempunyai senyum cerah inilah yang menemani masa tua nya yang membosankan karena tak ada siapapun disisinya setelah istrinya meninggal tahun lalu.
"Bukan masalah." Nam'il diam sesaat mengamati senyum cerah yang tak luntur dari wajah Zayyan. Lalu bertanya tentang kabar yang ia dengar baru-baru ini tentang Leo.
"Apa Leo masih membuat ulah?"
Zayyan menyatukan kedua tangannya dan meremasnya pelan, pandangannya melirik sekitar.
Seolah sadar dengan kegelisahan Zayyan, Nam'il meraih kedua tangannya dan menggenggamnya erat. "Aku sudah bilang padamu, kau bisa menganggapku ayahmu sendiri, kau bisa bercerita apapun. Sebisa mungkin aku akan membantumu."
Zayyan menarik tangannya dari genggaman Nam'il dan menggeleng pelan. Dengan segera menulis kalimat demi kalimat yang ia tujukan pada pria tua itu. Bukannya ia menolak bantuan tulus dari Paman Nam'il tapi dia tak ingin terus merepotkannya. Ia masih ingat hari dimana kematian kedua orang tuanya 6 tahun lalu. Usianya masih sangat muda saat itu, ia bahkan belum lulus sekolah. Paman Nam'il lah yang mengurus segala hal. Dia datang jauh-jauh dari desa ke kota untuk membantu mereka mengurus pemakaman dan hal lainnya. Yang mana saat itu tak ada satu pun keluarga yang mau menolong mereka. Bahkan disaat mereka tak punya tempat tinggal lagi sejak pihak rentenir mengambil paksa rumah yang ditinggalkan orang tua mereka. Paman nya itulah yang menolong mereka, membawa mereka pergi dari kota dan hidup didesa ini, dan juga mengizinkan tinggal dirumah miliknya. Bahkan ia tak perlu membayar uang sewa. Paman Nam'il sudah banyak membantu, dia tak ingin merepotkannya lagi.
Paman Nam'il dan Ayahnya sahabat sejak kecil dan masih berhubungan baik sampai akhirnya ayahnya meninggal dalam kecelakaan, itulah kenapa ia sangat peduli pada mereka.
Namun saat ini dia tak ingin lagi merepotkan pamannya itu, dia bisa menyelesaikannya sendiri. Apalagi Wain bilang akan membantunya berbicara pada orang tua korban.
'Terima kasih Ahjussi, maaf sudah merepotkanmu selama ini, tapi aku pikir aku bisa menyelesaikan ini sendiri, kuharap kau mengerti itu.'
Nam'il menghela nafas dan mengangguk mengerti. Tersenyum lembut pada Zayyan yang juga membalas senyumnya. "Aku masih berharap kau mau menghubungiku segera jika hal itu terlalu sulit." Menepuk pelan pundak Zayyan dan sedikit meremasnya. "Kau akan langsung pulang kan? Bagaimana jika aku mengantarmu?"
Zayyan menggeleng. 'Tidak usah Ahjussi. Aku masih harus menemui Bibi Ahnjong.'
"Kau yakin tak ingin Ahjussi menemanimu?" Nam'il masih meyakinkan Zayyan, dia khawatir, apalagi setelah peristiwa pembunuhan di desa mereka.
Zayyan mengangguk dengan yakin.
Nam'il kembali menghela nafas, ia akan mengalah jika Zayyan sangat bersikeras. "Kalau begitu berhati-hatilah, jangan pulang terlalu malam. Desa kita tak aman seperti dulu karena pembunuhan itu. Pembunuhnya masih berkeliaran diluar sana."
Zayyan termenung beberapa saat, lalu setelahnya membungkuk pamit dan segera berlalu menjauh.
.
KAMU SEDANG MEMBACA
Apate
FanfictionSelama 30 tahun terakhir tak pernah terjadi pembunuhan di Desa tempat Zayyan dan Leo tinggal. Namun suatu hari seorang gadis ditemukan tak bernyawa disebuah gendung terbengkalai di tengah hutan. SingZay @alteozy