Chapter 6

334 47 9
                                    




Sing berniat akan pulang tadi setelah membaca pesan dari Lex, tapi ia teringat dengan saksi tak langsung yang polisi muda itu sebutkan pagi tadi. Seorang kakek tua. Ia akan bertanya beberapa hal setelahnya baru akan pulang.

Jalan disekitar hutan banyak yang menanjak dan sangat menyulitkan. Harus menggunakan tenaga ekstra untuk melewatinya. Dengan nafas terengah-engah akhirnya Sing sampai di depan rumah kayu milik kakek itu. Tak ada cukup cahaya yang menerangi, tempat ini hanya mengandalkan cahaya bulan untuk penerangan. Sangat gelap. Dia tak bisa membayangkan menghabiskan hari-hari tinggal ditempat seperti ini.

Melangkahkan kakinya dengan pasti menuju pintu kayu, lalu mengetuknya.

"Harabeoji!"

"Kau didalam?! Tolong buka pintunya sebentar. Aku ingin bicara!"

Sing mengetuk beberapa kali namun tak ada siapapun yang menyahut. "Harabeoji!" teriaknya sekali lagi. "Aku detektif yang menyelidiki kasus pembunuhan yang jasadnya kau temukan. Ada hal yang ingin kutanyakan. Tolong buka pintunya!"

Sing termenung beberapa saat, firasatnya mengatakan ada yang tak beres. Tanpa berpikir lama ia memutuskan mendobrak pintu itu. Aroma anyir yang menyengat langsung menyapa indra penciumannya saat berhasil membuka pintu. Suasana yang gelap menyulitkannya untuk melihat dari mana aroma anyir ini berasal, segera mengambil ponsel disaku dan menghidupkan pencahayaan.

Seketika mata Sing terbelalak saat dapat melihat asal aroma anyir itu.

Kakek tua itu telah meregang nyawa dengan cara yang sama seperti ia menemukan jasad gadis itu. Dengan posisi tergantung tanpa busana dan wajah yang rusak parah.

Tak perlu mencari tahu siapa yang melakukan semua ini, hanya satu orang yang pasti. 

Pembunuh berantai itu.

Sing mengeratkan kepalan tangannya menahan geram. Giginya bergemeletuk.

"Sial."

Pandangan Sing menatap liar kearah hutan yang gelap. Bajingan itu pasti masih ada disekitar sini. Ia akan mendapatkannya malam ini. Tak akan ia biarkan orang-orang tidak bersalah menjadi korbanya lagi.

Sing segera berlari menjauh dari rumah itu, mengikuti kemanapun kakinya melangkah. Pikirannya hanya dipenuhi satu hal. Menangkap bajingan itu.

.

.

.

Sing mengumpat kesal pada hujan deras yang tiba-tiba turun, sangat menyulitkannya menemukan pembunuh itu. Berhenti sejenak hanya untuk menetralkan nafasnya yang memburu. Lalu kembali melanjutkan langkahnya menyusuri jalan basah yang dipenuhi genangan air hujan.

Dari kejauhan samar-samar ia melihat seseorang berlari ditengah derasnya hujan, mengusap wajahnya untuk memperjelas penglihatannya. 

Seorang pemuda dengan baju kuning cerah menembus hujan deras tanpa mantel atau payung yang menghalangi hujan membasahi tubuhnya. Orang bodoh macam apa yang bermain hujan dimalam hari, setidaknya itulah yang Sing pikirkan. Dia ingin mengabaikan orang aneh itu, namun saat melihat pemuda itu jatuh tersungkur, membuatnya iba dan ingin menolongnya. Tapi gelagat aneh pemuda itu membuat Sing mengurungkan niatnya.

Pemuda itu perlahan merangkak kearah rerumputan liar dan bersembunyi disana. 

Sing mengerutkan dahinya bingung, ada yang tak beres. Dan benar saja, selang beberapa saat seorang pria dengan topi dikepalanya dan masker yang menutupi wajahnya berlari kearah rerumputan. 

ApateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang