08

3 0 0
                                    

Sastra masuk ke halaman bangunan, melihat kedua orang tua Embun sudah menunggu di sana. Mereka menghampiri Sastra, dengan mata berkaca-kaca, dan wajah yang tampak bahagia.

"Sastra, makasih banyak, ya?"

"Eh iya? Tante? Om?" Sastra kebingungan. Embun belum bebas, kedua orang tua Embun sudah menunggu, dan tiba-tiba berterima kasih kepada Sastra.

Sastra hanya diam di tempatnya, ibu Embun memeluk Sastra lembut, sedangkan ayahnya hanya tersenyum. Benar-benar berbeda dari sebelumnya. Apa mereka berterima kasih karena Embun sudah bebas? Atau berterima kasih karena selalu berada di samping Embun?

"Terus bareng, Embun, ya, Sastra. Om tau, Embun memang lebih baik bersama kamu." Ayah Embun menganggukkan kepalanya, sedangkan ibu Embun menyenggol lengan sang suami disusul dengan tawa jahilnya.

"Maksudnya, Om?"

"Mama, Papa!"

Keduanya menoleh, Embun sudah berada di pintu, berlari dengan cepat menghampiri ibu dan ayahnya, kemudian memeluk kedua orang tuanya dengan erat.

Embun menangis lagi, selalu saja menangis, itu sedikit membuat Sastra semakin terenyuh. Apa yang satu ini tangis kebahagiaan karena Embun bisa bertemu dengan kedua orang tuanya?

"Embun kangen banget, kangen banget, nanti pulang kita kumpul, makan-makan." Masih sembari terisak, Embun terus memeluk keluarganya, mengabaikan Sastra yang sudah menunggu.

Sastra ingin menjemput Embun, karena Embun juga teman baiknya.

"Ini ada Sastra, Mbun." Embun melepaskan pelukan, menunjuk Sastra yang hanya membungkukkan badannya.

"Iya, Embun tau, kok. Langsung pulang aja ya, Ma, Pa. Embun pengen buru-buru di rumah." Embun berkaca-kaca, menatap ayahnya yang langsung diusap surai halusnya. "Embun beneran kangen, Embun kira sebelum Embun ketemu Mama Papa, Mama sama Papa bakal balik lagi karena Embun nggak bebas-bebas."

Sang ibu mencubit hidung putrinya itu. "Iya-iya, Sayang. Kita pulang ke rumah, ya?" Ibu Embun menatap Sastra yang entah mengapa tiba-tiba menjadi lebih diam dari sebelum Embun datang. "Sama Sastra, ya? Kita yang ajak Sastra."

"Hah?"

Suasana di mobil hening. Mobil dikendarai oleh ayah Embun, di sampingnya ada sang ibu. Di belakang dengan dua bangku yang pas diisi oleh Embun dan Sastra. Embun terus menatap kaca, tanpa ingin melihat Sastra. Membuat Sastra semakin kebingungan, apakah ada yang salah dengannya?

Atau Embun sudah--

"Kalian beneran cuman temenan aja, nih?" Ibu Embun membuat topik, sedangkan Sastra dan Embun mencoba menahan napas.

Mau tidak kaget bagaimana? Di suasana yang sepi itu, sang ibu tiba-tiba berujar sesuatu yang agak kurang disukai anaknya. Embun dan Sastra berteman dengan sangat baik. Sastra juga tidak pernah memiliki perasaan kepada Embun, begitu pula sebaliknya.

Jika disuruh coba-coba oleh seseorang, keduanya tidak mau, karena akan berakibat fatal pada pertemanan mereka. Namun sekarang, daripada tidak mau dengan alasan itu, Embun lebih terlihat jijik dengan apa yang diucapkan ibunya.

"Apa sih, Ibu. Iya kita nanti musuhan," ujar Embun yang membuat sesuatu rasanya menancap sangat dalam di hati Sastra.

Sebenarnya ada apa?

Mengapa Embun secara tiba-tiba begitu? Biasanya Embun hanya akan menjawab dengan, 'Iya lah' atau sebagainya.

"Eh eh, jangan gitu dong." Sang ayah berujar, membuat Embun mendengkus kesal, sedangkan Sastra hanya menelan salivanya, tidak mau berbicara lebih banyak lagi.

Beberapa menit berlalu, dan mereka sudah sampai di rumah. Sastra lagi-lagi hanya bisa menuruti setiap perintah ayah dan ibu Embun, entah untuk membantu keduanya menyiapkan makan dan sebagainya. Embun juga sama sibuknya, sebelum sang ayah tiba-tiba dipanggil keluar oleh tetangga Embun.

Benar, kedua orang tua Embun mulai sibuk menyapa di sana. Memang terkenal di sekitar perumahan, tetapi Embun tidak peduli.

Yang dilakukan gadis itu sekarang adalah menyentuh bahu Sastra, membuat Sastra yang sedang melihat keramaian di luar langsung menolehkan kepalanya.

"Ikut gue."

Embun sampai di tujuan, yaitu kamarnya sendiri. Sampai Embun berbalik, menatap Sastra dan menarik kerah lelaki itu dengan sangat kuat, lalu membantingnya ke dinding rumah.

Embun menutup pintu kamarnya, lantas menatap tajam Sastra. Lelaki itu meringis dengan punggungnya yang mulai berdenyut nyeri.

Sebelum sebuah boneka yang agak besar berhasil mengenai kepala Sastra, dengan si pelaku yang tentu saja adalah Embun.

"GOBLOK! Capek banget gue. Goblok, goblok!" Sastra lagi-lagi mendapatkan hantaman bantal lainnya, membuat Sastra harus menahan kedua lengan agar bantal itu tidak terus mengenainya.

"Apa sih?! Kenapa? Kenapa semua cewek tuh nggak ada yang langsung ngomong dan malah ngatain dulu, anjing?!" Sastra berdiri, dia awalnya tidak berani dengan Embun, tetapi kini, badannya bergerak sigap, membalas tatapan Embun dengan penuh emosi. "Kenapa dulu? Bilang?! Jangan kayak orang gila gitu."

Embun meraih ponselnya yang ada di saku celana, mengotak-atik layar ponsel tersebut, lalu bergerak mendekat dengan rusuh ke arah Sastra. Berakhir, Embun memperlihatkan utas yang dibuat oleh seseorang mengenai kasus yang melibatkan dirinya dalam tabrak lari.

"Kenapa lo nyebarin hoax?!"

Sastra terdiam, menyatukan alisnya tidak terima.

"Maksud lo--"

"DIEM! Gue nggak tau sama kepribadian Viona, tapi Viona nggak ada riwayat penyakit jiwa! Polisi juga udah bener nyelidikinnya, luka-luka kayak gitu nggak ngaruh buat kasus ini!" Viona semakin mendekat, menatap Sastra lebih tajam lagi. "Terakhir ... kita yang salah jalur, Viona udah bener! Dia nggak jalan di pinggir banget sama sekali! DAN SEKARANG APA YANG LO KETIK ANJING?!" Embun membanting ponselnya ke atas kasur, dengan frustrasi yang sudah menjadi-jadi.

"Mbun ...."

"APA?!"

"Gue nggak pernah klarifikasi apa pun lagi."

Sastra mematung di tempatnya.

Bukankah ....

Bukankah itu yang membuat utas itu adalah Arvadi?

Mengapa tiba-tiba.

"Bohong, gue udah capek sama kebohongan lo tau, nggak? Kalau emang bukan lo yang buat, terus kenapa yang dicantumin di sini itu nama lo, HAH?!" Embun menunjuk-nunjuk ponselnya, semakin dikendalikan amarah membuat jantung Sastra berdegup dengan sangat kencang.

"Serius, Embun." Sastra mengambil kembali ponsel Embun, melihat nama pengguna dari akun yang baru saja mereka lihat utasnya. "Ini akun Arvadi."

Embun terdiam di tempat. "Hah?"

"Setelah lama nggak ketemu, kemarin, habis dari nganterin lo, gue ketemu sama dia." Sastra menunduk, melihat akun tersebut memanglah kosong. "Dia mau ngehancurin gue lebih dalam lagi, Embun. Gue nggak tau harus gimana ...."

Embun berdecak, wajahnya mulai panik tak karuan. Gadis itu mengacak-acak rambutnya, benar-benar sudah tidak tahu lagi harus berkomentar seperti apa.

"Sebenarnya masalah lo itu di mana sih, Sastra?" Embun menatap Sastra yang masih terus memperhatikan ponselnya. Embun membuat ponselnya yang dipegang Sastra terjatuh, lantas melanjutkan kalimatnya, "LO YANG UDAH BUAT PRATA BUNUH DIRI, 'KAN?!"

Huh?

Siasat Si PengarangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang