Sastra menutup pintunya sembari kantong kresek yang berisikan sekotak nasi dan ayam goreng. Pintu itu ia tutup kembali, sebelum Sastra meratapi keadaan saat ini.
Rumahnya sangat hening dan sunyi.
Sastra menghela napas, mengunci pintu rumahnya lalu lanjut berjalan ke sofa dan meletakkan kantong kresek itu ke atas meja. Tidak langsung duduk di atas sofa, Sastra berjalan terlebih dahulu menuju sebuah saklar di balik pintu, lalu menyalakan lampu ruang utama, membuat ruangan yang awalnya diselimuti kegelapan yang alus, kini berubah menjadi cerah yang agak asing dengan kondisi Sastra.
Sastra tidak pernah menyalakan lampu, karena Embun selalu menemaninya, berkunjung setiap hari ke rumah Sastra. Sastra anak rantau, sedangkan Embun memang tinggal di rumah keluarganya yang sempat diisi oleh kedua orang tuanya sebelum sepasang kekasih itu meninggalkan anaknya sendirian karena ada urusan di kota kelahiran mereka.
Sekarang, Embun menyimpan rasa kecewa yang besar, membuat Sastra rasanya tidak tahu harus bertindak bagaimana lagi untuk memberikan sanggahan pada spekulasi Embun.
Sastra membuka kotak makanan yang baru ia beli di luar, lalu memakannya secara perlahan.
Sekarang sudah malam hari.
Dan malam yang sangat sepi.
Sastra hanya ditemani jam dinding yang mengeluarkan suara mereka tiap kali detik berganti, dan suara air kran wastafel yang menetes perlahan dari dapur.
Tak lama, Sastra terkejut dengan suasana heningnya yang mulai rusak.
Ponselnya tiba-tiba berdering dengan kencang, saat itu juga Sastra langsung mengangkat seseorang yang sekarang tengah menghubunginya
Wajah Sastra agak semringah kala dia melihat kontak yang baru saja menghubunginya. Itu dari Kak Ajo, ketua umum Teater Titik Sudut. Apakah naskah Sastra sudah diterima dengan baik? Apakah itu bisa digunakan untuk awal acara kolaborasi mereka dengan organisasi teater luar negeri yang Embun katakan terkenal itu?
Sastra berdeham pelan, menghentikan kegiatan makannya lalu segera ia angkat telepon tersebut.
"Halo Sastra."
"I-iya, Kak Jo. Apa naskah gue bisa diterima?" tanya Sastra berdiri dari duduknya untuk sedikit menghilangkan rasa gugupnya. "Apa ada yang harus gue perbaiki?"
Beberapa detik hening, Sastra hendak membuka suara kembali untuk memeriksa keadaan Ajo. Namun, suara Ajo kembali terdengar secara tiba-tiba menjawab, "Udah-udah. Nice banget, Bro. Perfect, Stra."
"Thanks, Kak," sahut Sastra sebelum dia mendengar Ajo berdeham pelan di seberang sana.
"Lo tau, 'kan, Stra? Kalau bentar lagi ada pertemuan gitu antar TS sama LHE House. Lo pernah diajuin buat dateng juga, 'kan? Naskah lo kita terima, Stra, tapi kayaknya nanti lo nggak usah datang, ya? Udah ada penggantinya, kok. Tenang aja."
Saat itu juga ekspresi wajah Sastra berubah. "Mm ... kenapa kalau boleh tau ya, Kak? Soalnya kemarin pengurus juga yang nyuruh gue ke sana, yang lain pada minta juga."
"Lo lagi ada masalah lagi, 'kan?"
Apa?
"Maksudnya?"
"Urus dulu masalah lo, Stra. Kalau udah clear, nanti kita lanjut interaksi sama LHE. Lo ... udah liat twitter?"
"Emangnya kenapa sama twitter?"
"Ratu Cinta itu temen lo, kah? Kemarin juga lo klarifikasi tentang masalah cewek yang katanya temen deket lo banget itu, 'kan? Gue denger-denger namanya Embun, ya? Kampus Wilawayang, 'kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Siasat Si Pengarang
Mystery / ThrillerKatanya, dia memikat banyak orang dengan ketampanannya. Katanya, dia sukses dengan segala karir melalui bakat-bakatnya. Katanya, dialah si sempurna yang diidam-idamkan semua orang. Sayangnya, dia tidak sepenuhnya seperti apa yang dikatakan orang-ora...