15

5 0 0
                                    

Pagi hari itu, rasanya sangat sejuk.

Angin sepoi-sepoi menyapa setiap pergerakan orang yang memulai aktivitasnya. Termasuk seorang anak laki-laki yang baru saja menuruni anak tangga dengan membawa setumpuk buku di tangannya.

"Sastra, mau ke mana?!" Dan seorang anak perempuan yang baru saja merangkulnya. "Lah, buku apa itu?"

"Ini, Bu Rinda ada urusan, jadi aku disuruh kasih ini ke ruang guru."

Anak-anak SMP itu saling bertatapan, sebelum Embun mengangguk-anggukkan kepalanya. "Ya udah, aku ke kelas dulu, ya. Kamu dipanggil si Bagas tadi, katanya mau ngomongin properti buat acara ultah sekolah nanti." Embun melambai-lambaikan tangannya tanpa mau berbicara lagi, jujur, Embun takut bila Sastra tiba-tiba bertanya lagi mengapa Embun mengundurkan diri dari seni teater.

"Dih ...."

"Weh weh, mau ke mana nih, Pangeran?"

Dan orang mengganggu lainnya.

Sastra terdiam di tempat, ada Arvadi di sana, sedang merangkul akrab seorang anak laki-laki yang hanya bisa menunduk dengan wajah pucat. Sudah lumrah orang-orang melihat keadaan Arvadi dengan anak laki-laki itu begitu, tetapi Sastra sedikit kesal.

"Ruang guru."

"Bawain lo!" seru Arvadi menepuk pundak anak laki-laki itu sedikit kencang, membuatnya langsung bergerak ke arah Sastra.

Sastra tambah kebingungan.

Sebenarnya untuk apa juga?

"Nggak usah."

"Nggak apa-apa," jawab anak laki-laki itu.

Sastra melirik Arvadi yang tertawa di belakang dengan antek-anteknya. Membuat Sastra menghela napas dan segera memberikan buku itu. "Jangan rusak, simpen di mejanya Bu Rinda. Inget, jangan rusak," ujar Sastra memberikan tatapan tajam pada anak itu.

Sebelum mereka langsung bergerak berbalik. Arvadi berlari terlebih dahulu, meninggalkan anak laki-laki itu yang bersusah-payah membawa tumpukan buku tersebut. Sepertinya Arvadi dan yang lain membuat luka di tangan anak itu, sehingga dia kesulitan membawanya.

Yah, Sastra tidak peduli juga. Toh, itu meringankan tugasnya.

"Kasian ya."

Sastra tersentak, melihat Embun yang tiba-tiba berada di belakangnya. Embun menghela napas, kembali merangkul akrab Sastra yang merasa kesal dengan pengganggu satu itu.

"Namanya Prata," ujar Embun. "Kesehariannya cuman dirundung anak-anak itu. Kalau aku atau kamu aja deh, 'kan kamu cowok, nyelamatin dia biar dia bahagia bisa nggak, ya?"

Sastra menatap Embun lama, sebelum mereka benar-benar pergi dari lorong tersebut.

***

"Ini nggak enak, lo denger nggak sih?!" Arvadi berteriak kencang dari belakang sekolah, menendang punggung Prata yang baru saja memberikan bekalnya sembari menunduk, berlutut di hadapan si penguasa. "Nggak becus banget dah jadi orang, pantes nggak ada temen lo. Emang lo tuh diciptain cuman buat diginiin, yak?"

Prata gemetaran, mencoba untuk memunguti bekalnya.

Ah sial, itu bekal satu-satunya dia. Dan Prata tidak bisa makan lagi karena nasi di rumah dibatasi. Prata hanya tinggal dengan Sang Nenek yang tidak bisa membiayainya.

"Itu anaknya."

"ARVADI?!"

Orang-orang di belakang sekolah tersentak mendengar seseorang berteriak. Rupanya itu salah satu guru dengan beberapa murid yang memperhatikan perbuatan Arvadi kepada Prata sedari tadi.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 04 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Siasat Si PengarangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang