10

4 1 0
                                    

Sastra tidak tahu lagi hidupnya bagaimana sekarang. Sudah tiga hari dia tidak keluar rumah, makan apa saja yang ada di rumah, dan tidak membuka ponsel sedikitpun. Kesehariannya hanya tidur, makan, minum, mandi pun Sastra lewati. Ah masa bodoh, untuk apa mandi di detik-detik kefrustrasiannya sekarang.

Sastra baru dari kamar mandi, sekarang dia berdiri di kasurnya, lalu langsung menjatuhkan dirinya sendiri ke atas kasur kecil itu. Matanya menatap apa pun yang ia tangkap dengan begitu lama, melamun ... memikirkan hidupnya sendiri.

Mengapa, sih?

Seharusnya dia tidak membantu Prata saat itu ....

Seharusnya dia tidak berbuat sejauh itu ... sampai harus terlibat dengan masalah serumit sekarang.

Sastra juga tidak tahu harus minta bantuan kepada siapa. Tidak ada yang peduli padanya, kedua orang tuanya juga mungkin masa bodoh, entah Sastra sudah mati atau masih hidup, yang penting mereka memberikan sedikit uangnya yang setiap hari Sastra kumpulkan untuk mimpi-mimpinya yang lain.

"Ck, bodoh."

Sastra bangkit, bergerak menuju dapur setelah merasa tenggorokannya kering. Sastra miris pada dirinya sendiri, sekarang dia lebih terlihat seperti orang yang akan mengakhiri hidupnya hanya dengan melamun.

Sastra terdiam sejenak, dengan tangannya yang baru saja mengambil gelas dari rak piring.

Mengakhiri hidupnya?

Mengapa orang-orang bisa begitu menyepelekan apa yang akan terjadi setelahnya? Apa mereka mengira akan bahagia juga di sana, dan memberikan masalah mereka kepada seseorang yang bahkan tidak tahu kesalahannya? Apa sulitnya mendatangi Sastra, meminta bantuan, memberikan kebenaran, daripada harus menjelek-jelekkan Sastra seperti itu?

Sastra benar-benar kesal, rasanya tidak ada lagi yang bisa menjadi alasannya berdiri, termasuk mengakhiri hidup. Hal yang sangat dibenci oleh Sastra.

Kini, Sastra sudah mengangkat gelasnya tinggi-tinggi.

Hendak membantingnya dengan kencang, masa bodoh mau gelas itu pecah berkeping-keping, mengenai kakinya, mengenai lengannya, atau mengenai apa pun yang membuat Sastra merasakan sakit. Sastra juga harus tahu, bagaimana nikmatnya hal yang menyebalkan itu.

Kring!

Sedikit lagi.

Kring! Kring!

Sastra terdiam lagi.

Mengembuskan napasnya perlahan, sebelum dia meletakkan benda beling itu kembali ke tempatnya. Sastra jadi lupa tujuannya ke dapur, entah mengapa semuanya jadi terasa hambar, sebelum lelaki itu pergi kembali ke ruang utama untuk mengambil ponselnya yang sudah ia diamkan dua hari di atas meja ruang utama.

"Embun?" Sastra mengangkat satu alisnya, dan langsung mengangkat telepon tersebut.

"Buka Twitter."

"Hah?"

"BUKA TWITTER."

Sastra langsung bergerak, membuka layar kuncinya, dan langsung mencari media sosial yang disebut Embun tanpa mengakhiri telepon.

Cukup takjub, ada banyak notifikasi di sana, sangat banyak.

Apa itu komentar kebencian? Apa Sastra dibanjiri hujatan lagi?

"Ah ngapain," ujar Sastra mengeluh, dan dia lupa bahwa telepon dari Embun belum dimatikan.

"Liat dulu, Stra."

Sastra sampai di media sosial itu, membuka notifikasi pelan-pelan, takut jika ada sesuatu yang membuatnya tersinggung melebihi sebelum-sebelumnya.

[Semangat deh, Sastra]

Siasat Si PengarangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang