06

3 0 0
                                    

Viona dinyatakan tewas.

Sastra menunduk di kursi kantor polisi, dia sendiri diselamatkan oleh Embun karena dirinya tidak terlibat sama sekali. Embun yang mengendarainya, Embun juga yang tidak melihat-lihat jalan. Jadi, Embun merasa bahwa dirinyalah yang harus dibawa atas dasar tuntutan keluarga Viona.

Sastra mengabari orang tua Embun yang tidak jadi dijemput, sebaliknya, Embun menyarankan orang tuanya pulang menggunakan mobil di aplikasi online, nanti Embun yang akan membayarkan ongkos keduanya.

Sastra menghela napas, merasa sedih. Embun sudah lama ingin bertemu orang tuanya yang terpisah agak jauh, saat orang tuanya tidak memiliki urusan apa-apa lagi di kotanya, mereka berinisiatif untuk mengunjungi Embun. Namun, sangat disayangkan jika Embun sendiri harus mengurus segala permasalahan yang baru ia buat.

Orang tuanya merasa terpukul, sekarang entah sudah ada di mana. Sastra tidak terlalu memikirkan itu, dan lebih fokus kepada Embun.

Bagaimana agar dia bisa melepaskan Embun dari tuntutan itu?

"Nak Sastra."

Sastra membelalak, melihat sepasang orang tua berjalan menghampirinya. Itu orang tua Embun, mengapa mereka pergi ke sini daripada pulang ke kediaman Embun?

"Eh ...."

"Embun nya di mana?" Ibu Embun menolehkan kepala, mencari sang putri, sedangkan Sastra hanya tersenyum ramah.

"Di dalem sana, Tante. Tadi habis kejadian langsung dibawa ke sini setelah kita anter temen kita yang ketabrak itu." Sastra menunjuk ke sebuah ruangan yang tidak terdengar suara apa pun dari luar, padahal Sastra sangat yakin jika banyak orang di dalam sana yang sedang beradu argumen. Entah keluarga Viona sibuk membentak-bentak Embun, atau justru Embun yang pasrah atas konsekuensinya. "Sastra juga nggak tau kalau bakal ada kejadian kayak gini, padahal tadi ... Embun semangat banget buat jemput Tante sama Om."

Kedua orang tua Embun saling bertatapan, sebelum dia menunduk lesu. Wajah ibu Embun tampak akan menangis sebentar lagi, sedangkan ayahnya hanya mengacak-acak rambutnya frustrasi.

"Padahal saya sudah mengajarinya berkendara mobil dengan baik, mengapa masih ...." Ayah Embun mencoba menenangkan diri, sedangkan ibu Embun bergerak mengelus punggung sang suami untuk menenangkan lelaki paruh baya itu.

"Seharian di sini, Sastra?"

Sastra menganggukkan kepala. "Nanti Sastra bantu, kok, selalu ada jalan keluar juga, Tante. Kejadian itu juga Embun nggak sengaja, meskipun emang Embun terlalu mepet ke pinggir jalan dan berakhir kayak gitu--" Sastra melirik sayu ruangan kedap itu. "Duduk dulu aja, Tante, Om."

"Ah iya, makasih, Sastra." Ibu Embun memberikan senyumannya kepada Sastra. "Terima kasih juga karena sudah menjaga Embun selama ini, ya. Tante tau, kok, Embun itu anaknya emang agak ceroboh. Sastra udah mencoba menyelamatkan Embun."

Sastra hanya menunduk lesu. "I-iya, Tante."

Pintu ruangan terbuka lebar, memperlihatkan wanita tua dan seorang wanita yang lebih dewasa sedang menangis, sedangkan Embun hanya menundukkan kepala di belakang. Namun, Sastra bisa melihat bagaimana dua orang itu tampaknya menerima alasan Embun selama berada di dalam ruangan. Embun juga sudah menangis sejak dia tahu bahwa dirinya menabrak Viona, tetapi sekali lagi, Embun akan menerima segala konsekuensinya.

Perwakilan keluarga Viona langsung dibawa lagi, hendak melanjutkan proses tuntutan mereka. Sedangkan Embun terdiam, menatap polisi yang berjaga di belakangnya.

"Pak, apa boleh saya--"

"Saya beri waktu 5 menit."

Embun menganggukkan kepalanya, berjalan ke arah Sastra dan kedua orang tuanya. Orang tua Embun langsung memeluk sang putri, saat itu juga Embun mengeluarkan tangisannya lagi.

Siasat Si PengarangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang