04|Dalam Bekunya Ada Hangat Yang Menyala.

126 21 27
                                    

Sore ini,  Esa berjalan  kaki saat sudah sampai dirumah. Saat Tadi Bunda menurunkannya tepat di beberapa belas meter sebelum gang depan rumah.

Esa mendapati keadaan rumah masih terkunci, kosong dan sunyi. Dengan perlahan dia membuka pintu dengan besi yang dia simpan dibalik saku celananya.

Gelap dan dingin menyambut kepulangannya hari ini. Nampaknya Ayah belum pulang, menyebabkan Esa teringat bahwa sisa kecanggungan dengan Ayah masih begitu kental, saat obrolan mereka tak berakhir baik semalam.

"Berhenti atau gue selamanya ngga mau ngomong sama lo!"

"Ternyata  udah sejauh itu kamu berpikir. Bunda yakin bujuk kamu buat balik itu hal yang mustahil. Tapi kamu tahu gimana Basta pengen banget kamu pulang. Please, jangan bilang apa-apa ke dia. Seenggaknya biarin bunda bisa bareng Basta kalau kamu nggak mau,"

" Meskipun kamu udah tau kebenarannya, tapi coba kamu anggap aja semuanya seperti yang Basta percaya. Jadi hidup kamu lebih terjamin. Nggak usah pikirin Ayah,"

Esa menutup pintu depan dengan pelan, mulutnya mendesah panjang, dan badannya merosot dibaliknya. Pikirannya masih penuh dengan fakta bahwa Basta sakit karenanya. Setidak peduli apapun Esa pada Basta, jika dia telah membuat kakaknya sakit, tetap ada rasa bersalah yang besar mengusik tenangnya.

Belum lagi ucapan Bunda yang justru benar-benar diluar dugaan Esa ketika mengetahui bahwa Esa sudah mengetahui segalanya. Alih-alih meminta maaf, Bunda justru mencari pembenaran sendiri dan memintanya untuk tak mempengaruhi Basta. Sekarang setelah sampai rumah, pikirannya harus terbebani dengan masalah sebelumnya yang masih menyisakan keretakan lainnya di hidup Esa. Hingga berhasil membuat pikiran Esa semakin penuh bahkan berisik sekali.

Dia membawa telapak tangannya sendiri meraba dahi. Ya, dia paham dan dapat merasakan panas yang menyerang disana. Kenyataannya, ia memang sakit. Tubuhnya memberontak sejak semalam, dan ia tidak bisa lagi  menyembunyikannya. Ia  tak menampik bahwa dia sakit. Tidak hanya tubuhnya, tetapi juga perasaannya.

Esa lantas berjalan kekamar dengan langkah yang dia seret dengan berat. Melepaskan seragamnya ketika dia sudah berada didalam kamarnya.

Kala satu persatu kancing baju putih dari seragamnya dia lepas, kepalanya berdenyut sakit sekali hingga membuatnya bergerak mencari pegangan. Dan satu-satunya yang bisa dia jadikan tumpuan adalah lemari kayu didepannya, yang terdapat kaca disana.

Pada saat sakit kepalanya masih sulit dia atasi, tiba-tiba darah mengalir dari kedua lubang hidungnya. Menetes dilantai keramik dibawahnya, sampai mengotori sedikit bagian bajunya. Segera dia menutup hidungnya dan mendongakkan kepalanya, bertarung dengan darah yang tetap keluar dan nyeri pada kepalanya juga panas yang menyerang tubuhnya.

Di antara pandangannya yang datang-kabur itu, Esa bisa merasakan ada jejak kaki yang datang dari arah luar kamarnya. Namun, di detik itu, Esa gagal meminta bantuan, dia gagal menjaga kesadarannya sendiri. Dia ambruk dengan kondisi yang memperihatinkan dikamarnya sendiri tanpa ada yang mengetahui.

******

"Pulang, Pak Kelan?" Sapa salah satu tetangga pada pria yang baru saja turun dari Bus didepan gang sempit rumahnya.

Dengan senyum yang sedikit dipaksakan, Kelan mengangguk dan menjawab, "Iya mas Aryo,"

Sebenarnya, tersenyum lebar itu bukan Kelan sekali. Apalagi perasaan lelah setelah pulang dari kantor, membuat Kelan sebenarnya sedikit enggan untuk berbasa basi. Tapi keadaan sekarang telah berubah. Jika dia dulu bisa acuh tak acuh dengan orang lain, bersikap sesuai keinginannya sendiri, sekarang Kelan dipaksa untuk terbiasa dengan basa basi dengan orang lain, terlebih tetangga-tetangganya yang telah menjadi bagian dari hidup Kelan 2 tahun terakhir. Mau tak mau dia harus melepaskan egonya sebentar ketika diluar rumah.

Once Upon Under The RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang