03| Karena Langit luluh lantah karena badainya.

93 20 10
                                    

Didepan rumah yang berukuran tak luas, diantara padatnya perumahan disekitarnya itu, langkah Esa berhenti. Tangannya memegang gerbang yang menjulang setinggi dadanya. Ia meremas gerbang besi yang mulai berkarat. Matanya terpaku pada  cahaya redup  dari dalam rumah yang terpancar dari jendela yang tertutup tirai tipis. Kemudian pandangannya dia bawa menuju langit diatasnya yang semakin gelap, karena mendung yang tersisa diiringi pergantian waktu. Dadanya bergemuruh berisik dengan perasaan yang tak tentu.

Hari ini, Esa tak menyangka banyak hal yang tak menyenangkan terjadi. Dan Basta menjadi hal yang paling besar menyebabkan hancurnya  hari Esa. Masih terbawa dengan emosi karena Basta, apalagi ketika teringat dengan perkataan Basta di depan lobi rumah sakit tadi, rasanya ada yang terbakar didalam hatinya. Bagaimana Basta yang sangat tak mempercayai Ayah selalu orang tua kandungnya sendiri. Jika Ayah mengetahui semua itu, maka Ayah mungkin akan sangat kecewa.

Setelah setitik air yang  kembali jatuh dari langit diantara gerimis ringan menimpa wajahnya, Esa pun menutup mata, menelan ludahnya sendiri, menarik nafas dalam-dalam dan menurunkan pandangan, dia setengah mati mencoba memadamkan api direlungnya dan mencoba menutupi seluruh emosinya. Dengan memantapkan hati, dia mendorong gerbang, bersamaan langkah yang dibawa dengan tegas  masuk kedalam rumah. Matanya mendapati Ayah yang sedang menyiapkan makan malam di ruang makan yang  hanya terbatasi dinding di samping  Esa berdiri.

" Esa pulang, Yah."

Seketika Ayah langsung menoleh menatapnya. Dibawah lampu yang temaram itu, Esa bisa melihat mata lelah Ayah. Meskipun Ayah masih terdiam ditempatnya.

Tapi ketika gerak Ayah yang perlahan mendekat, tanpa sadar membuat Esa sedikit kaget dan  matanya bergulir mengikuti gerakan Ayah dengan cepat.

"Kenapa baru pulang?" Tanya Ayah sambil berjalan.

"Iya, soalnya—"

"Kamu hujan-hujanan? Sikunya kenapa?"

Tanya Ayah lagi tanpa memberikan Esa kesempatan menjawab pertanyaan sebelumnya. Ayah juga memegang lengannya yang terluka, menelitinya dengan seksama.

Seketika pertanyaan ini itu membuat Esa sadar bahwa lengan seragam sekolahnya tak mampu menutupi perban yang melilit sikunya, juga jejak hujan yang masih tersisa meskipun tak seburuk saat di rumah sakit tadi. Hal itu semakin membuat Esa tak bisa berpikir jernih, dan kehabisan kata-kata.

Esa benar-benar bingung harus menjelaskan seperti apa. Meskipun di satu sisi dia juga senang karena dia bisa membuat Ayah khawatir hingga tanpa sadar mengekspresikan perasaannya.

"Ini tadi,.... jatuh didepan sekolah pas mau pulang," jawab Esa setelah sempat terdiam sejenak.

Dia menjawab dengan sebiasa mungkin, meskipun perasaan gelisah dan bingung, juga senang bercampur jadi satu membuat jantungnya berdegup tak karuan.

Tapi saat manik coklat tua milik Ayah beralih menghunus ke irisnya, membuat Esa kembali terkejut dan spontan membuang pandangannya.

"Siapa yang obatin?"

"T-t-tadi ada temen yang bantu dan diajak ke klinik Kakaknya, terus diobatin," bohongnya.

Suara bergetar milik Esa, semakin membuat Ayah justru menatapnya dengan mengintimidasi seolah dia sedang memastikan kebenarannya.

"Yang bener?"

Esa hanya berdeham, sembari menggerakkan bola matanya ke sudut lain ruang makan, agar tak beradu dengan tatapan Ayah.

Ayah pun hanya terdiam, setelah mendengar dehaman Esa. Membuat pikiran Esa meraba kemana-mana.

Tapi beruntungnya, Ayah kemudian berjalan menuju meja makan. Meninggalkan Esa yang masih terdiam ditempatnya.

Once Upon Under The RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang