1|Perihal Udara Yang Sedang Berjalan

270 28 13
                                    

Sore ini, Basta melihat awan abu-abu diatasnya berjalan begitu lambat. Berbanding terbalik dengan airnya yang justru gesit menjatuhi bumi, tempat Basta berpijak. Dalam guyuran hujan itu, segala kenangan seperti dengan mudahnya terbuka ulang, membuat Basta tanpa sadar tenggelam dalam lamunan. Sebab hujan itu sendiri memiliki arti yang lebih dari sekedar air yang turun menjatuhi bumi, bagi Basta dan keluarganya.

Tin!!!

Klakson dari mobil kenamaan yang berjalan mendekat itu menggema. Memecah bising rintik hujan yang ada disekitarnya. Membangunkan Basta dari renungnya.

Lantas senyum Basta mengembang kala mobil itu berhenti didepannya, dan kaca mobil yang diturunkan menampilkan sosok pria yang Basta anggap lelaki terbaik dihidupnya sekarang.

Dengan menggunakan sebelah tangannya yang diangkat diatas kepala, melindungi diri dari hujan,  dia berlari meninggalkan tempatnya berdiri, menuju mobil yang terparkir di halaman depan gedung pendidikan itu.

"Maaf ya, Bas. Papa telat. Harus meeting dulu tadi," ujar lelaki berkacamata itu sesaat setelah Basta menutup pintu mobil.

Basta tersenyum sesaat, "Iya, nggak apa-apa kok, Pa."

"Mau langsung pulang atau mau beli sesuatu?" tanya lelaki yang Basta panggil Papa itu, pada Basta yang sedang mengenakan seatbelt-nya.

Basta lantas menoleh, dia menggelengkan kepalanya.

"Nggak usah, Pa. Hujan begini mending langsung pulang aja, kayaknya."

Setelah itu, tanpa mengeluarkan suara lagi Papa mengangguk dan memutar stir. Dia membawa Basta pulang sesuai permintaan Basta.

Perjalanan mereka berlangsung hening beberapa belas menit awal. Papa yang fokus menyetir, membuat perhatiannya tercurah pada jalanan yang licin karena hujan. Sedangkan Basta sedang melanjutkan lamunannya tadi, yang kembali menariknya setelah hujan diluar terasa lebih lebat, dan hal itu juga seperti ikut membuat Basta semakin dalam tenggelam dalam pemikirannya.

Sunyi diantara mereka berdua berjalan sepanjang itu, sampai pada akhirnya Papa membuka percakapan.

"Bas, tadi orang bengkel bilang motor kamu udah  bener tuh," ujar Papa.

Basta lantas tersentak karena kesadarannya ditarik tiba-tiba oleh Papa.

"Udah bisa diambil dong, Pa?"

"Iya, tapi besok ya. Sekarang masih hujan juga,"

"Oke, Pa."

Kemudian percakapan yang terbangun mati disana. Saat obrolan itu menemui titik akhir yang menjadi final ide mereka.

Pandangan Basta kembali jatuh ke jalanan luar, pada derasnya hujan yang turun, pada titik air yang menggantung di kaca mobil, dan pada mereka yang meneduh di emperan toko atau halte bus yang ada, untuk bersembunyi dari hujan.

Rasanya, hujan memang akan selalu menjadi hal yang dihindari manusia, meskipun katanya datangnya hujan adalah sebuah rezeki bagi makhluk di bumi. Sedangkan untuk Basta, dia tak membencinya, dia tahu persis ada banyak kehidupan yang mungkin bergantung dari hujan, dia hanya sedikit trauma dengan kedatangannya yang kadang menyertai dengan guntur yang menyambar.

Dia tak menyalahkan jatuhnya air langit yang bisa menyebabkan kuyub dan menggigil, dia hanya membenci saat hal itu terjadi, maka  segala memori yang menyakitkan  itu akan ikut hadir terbawa angin dingin dan mungkin sedikit kencang, ketika hujan datang. Kenangan yang menjadi hal yang paling Basta benci di kehidupannya.

Ketika lamunannya jatuh kearah luar, dan saat Papa juga tak kunjung membuka suara, saat itu, mata elang milik cowok yang baru menginjak kelas XII SMA ini, mengunci pandangan pada salah satu dari banyaknya orang yang sedang menunggu di halte bus beberapa meter didepan.

Once Upon Under The RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang