2|Kenapa Harus Membenci Hujan?

153 22 12
                                    

Diantara nyanyian burung liar  yang bersautan  diluar, diantara sibuknya manusia menyambut hari setelah fajar, diantara udara yang bergerak mengantar hangat mentari pada dingin pagi yang menguar.

Saat itu, suasana ruang makan yang ada dirumah Basta sama hangatnya. Seolah memiliki kekompakan pada suasana diluar sana.

Semua masakan Bunda yang tertata rapi di atas meja, begitu harum dan tampak nikmat di mantrai bumbu yang tercipta sempurna. Selain ada Basta disana juga ada Papa yang baru saja menyelesaikan sarapannya.

"Oh ya Pa, kemaren Sekretaris Papa, si Alya itu nyariin Papa, katanya mau kabarin tentang jadwal meeting sama pihak klien yang dari Singapura. Bunda lupa mau bilang, soalnya Papa nggak angkat-angkat telfon Bunda," ujar Bunda, setelah meneguk air minumnya.

Papa lantas tampak tersenyum lembut, menatap Bunda seolah mengatakan semuanya baik-baik saja.

"Udah ketemu kok, Bun. Kemaren Papa pergi sama Om-nya Basta, Sean. Buat liat-liat beberapa mobil keluaran terbaru, di show room, tapi lupa buat kabarin Alya. But so far, semuanya udah berjalan dengan baik kemarin, Bun. Meeting kemarin, kita sempat bahas beberapa kesepakatan juga, dan mereka setuju sih, untungnya."

Mata Bunda tampak menyabit, garis bibirnya terangkat.

"Syukurlah kalau gitu," ucap Bunda.

Papa lantas menggenggam tangan Bunda, ibu jarinya menari dengan lembut diatas punggung tangan Bunda, penuh dengan kasih sayang.

"Bunda tenang aja, perusahaan Bunda akan sebisa mungkin Papa urus biar terus berkembangannya,"

Saat itu, wajar rasanya jika Basta bisa memilih Dewa sebagai seorang laki-laki yang pas untuk Bundanya. Lelaki itu baik, perhatian dan sabar. Dan saat seperti ini, lagi-lagi Esa kembali merasuk kedalam pikirannya. Sebuah tanya hadir diotaknya, bagaimana bisa Esa membenci orang sebaik Dewa?

Sejauh apa Ayah telah mencuci otak Esa?

Pertanyaan serupa selalu muncul dipikiran Basta tiap kali dia dengan mata kepalanya sendiri menyaksikan kebaikan Dewa, Papa tirinya. Tapi tanya itu tak pernah menemukan jawaban, Esa selama ini selalu salah sangka tak mau percaya pada Dewa, atau bahkan pada ucapan Basta untuk meyakinkan Esa bahwa Dewa adalah sosok lelaki yang baik, berharap adiknya itu mau pulang bersamanya. Basta pun menggeleng, saat isi kepalanya  ribut sendiri.

"Tuh, Bunda dengar, kan? Papa udah seserius itu buat urus perusahaan Bunda, jadi Bunda nggak perlu sering-sering ke kantor, Bunda tinggal anteng dirumah istirahat, dan tunggu aku pulang bawa Esa," sahut Basta kemudian.

Kali ini, ucapan Basta menjadi salah satu lunturnya senyum Bunda dan Papa. Basta yang kemarin meminta Papa untuk tidak membahas Esa dulu, malah kini dia yang menjadikan itu titik topiknya.

"Bunda bingung banget sama Esa, kenapa dia lebih percaya ke Ayah kamu dari pada Bunda. Bahkan dia juga berubah dingin banget sekarang, Bas. Rasanya Bunda khawatir kalau terjadi apa-apa sama Esa, apa lagi dia kan masih perlu pengobatan terus. Tapi.... Kayaknya buat narik dia pulang, udah mustahil. Ayah kamu udah berhasil ngubah Esa sejauh itu, Bas. Jadi dari pada kamu juga tersiksa dan capek bujuk dia, coba biarin dia memilih pilihannya dulu, jangan diganggu. Bunda yakin kalau nanti dia udah beneran sadar Ayah kamu kayak apa, dia pasti pulang," ujar Bunda dalam tunduknya.

Hal itu membuat Basta menjadi bimbang, tak memungkiri bahwa membujuk Esa kembali adalah hal yang paling melelahkan. Karena dasarnya Esa adalah anak yang keras kepala. Tapi mengabaikan atau tak peduli dengan Esa, mengandalkan waktu yang berbicara, Basta tak bisa rasanya.

Kala itu Basta hanya terdiam. Diluar perkiraan obrolan yang Basta bawa mengubah suasana ruang makan menjadi begitu suram.

------------------------★★★--------------------------

Once Upon Under The RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang