“Jika kau bisa berpura-pura seolah tidak pernah terjadi apa-apa.
Maka aku pun bisa berpura-pura sangat bahagia melihat semuanya.”
p a r o q u e t
“Kau kelas berapa, Jennie?”
Perempuan itu menghentikan kunyahannya sesekon saja. Sempat melirik Im Taehyung di kursi utama yang mengawasinya sejak tadi dengan tatapan mematikan. Lantas perempuan itu tersenyum sebelum menjawab pertanyaan Irene. Gertakan Taehyung tidak akan mempan padanya.
“Kelas tiga. Sebentar lagi ujian,” jawabnya.
Tak lupa, kakinya di bawah meja kembali merayapi milik Taehyung membuat pria itu menghela napas gelisah beberapa kali.
“Kau pasti lelah sekali. Anak kelas tiga harus banyak belajar. Jaga kesehatanmu. Makanlah yang banyak,” sahut Irene seraya menaruh lauk lebih banyak ke dalam mangkuk nasi Jennie.
“Terima kasih, Nyonya Baek. Semua orang mengkhawatirkanku. Mereka takut aku mengabaikan kesehatanku. Tapi sungguh aku menikmatinya,” jelas Jennie.
“Kau pasti sangat pintar,” puji wanita itu tak henti-hentinya kagum.
Seandainya Irene tahu siapa perempuan ini sebenarnya, perang dunia ke tiga mungkin sungguh akan terlaksana.
“Dulu biasa saja. Tapi akhir-akhir ini nilaiku meroket karena ada yang mengajariku—“
“Siapa?”
Meja mendadak hening kala suara berat itu menyela. Irene dan Jennie kompak mematung memandang Taehyung yang sekarang menatap Jennie penuh selidik. Bukan hanya itu. Kaki Jennie di bawah meja pun pria itu apit begitu kuat.
Sedikit sakit.
“Pacarku.” Lantas Jennie tertawa membuat suasana kembali cair.
Atau sebenarnya tidak karena Taehyung nampak masih marah meski telah melepaskannya. Sesungguhnya Jennie heran. Pria ini masih saja posesif, tapi berani menghindar dua Minggu lamanya. Padahal, siapa yang biasanya mengingatkan Jennie untuk belajar sebelum tidur? Disebut pacar, dia pasti sedang menyembunyikan kegembiraannya.
Makan siang kali ini nampaknya tidak terlalu bisa Taehyung nikmati. Ia tahu kehadiran Jennie tidak berdampak baik untuk siapa pun. Meski Adam memang nampak sangat menyukainya, tapi itu tidak menjamin perhatian yang Jennie berikan tulus, mengingat anak itulah yang sering menjadi sebab Taehyung meninggalkannya. Jennie bahkan mengerti isyarat yang anak itu berikan Taehyung sendiri tidak benar-benar bisa membalasnya.
Perempuan ini kenapa selalu saja sempurna? Dia bisa menjungkir balikkan perasaan Taehyung dengan lihainya seolah semua ini adalah keahliannya. Entah apakah Taehyung bisa disebut beruntung bisa bertemu perempuan seperti Jennie, atau ini justru akan jadi malapetaka di kemudian hari?
Sayangnya, Taehyung memang tidak bisa memprediksi, jadi ia memilih pasrah dan menjalani. Sampai bom waktu itu akan meledak akan keinginannya sendiri. Atau tetap tersembunyi rapi hingga ia mati.
Taehyung gusar. Dia benar-benar khawatir. Jika saja Irene lebih peka, tentu ia akan memegang kuat-kuat suaminya ketika lagi-lagi Taehyung bertanya kenapa Jennie tidak kunjung pulang. Hari sudah kian larut dan putra mereka menawan anak orang.
Jennie tidak seharusnya terlalu dekat dengan Adam. Bukan takut Jennie mencelakai Adam—karena Taehyung rasa Jennie tak sekejam itu, tapi tidak saling mendekati rasanya akan jadi pilihan terbaik agar tak ada yang sakit nantinya.
Pria itu senantiasa duduk di sofa ruang tamu. Mengamati dua bayi yang sedang menyusun lego beralaskan karpet tak jauh dari tempatnya. Mereka nampak saling menyukai. Damai sekali melihat wajah-wajah polos itu sesekali berbaur tawa lugu.
Adam rasanya tidak pernah mau dekat dengan orang lain selain ibu dan ayahnya. Anak itu bahkan jarang tertawa hingga bersuara karena memang Tuhan menganugerahinya keistimewaan. Namun, bersama Jennie tawa anak lelaki empat tahun itu mengikik kecil. Menenangkan hati Taehyung yang selama ini banyak terluka.
Lantas wanita itu muncul. Memungut tas Jennie yang jatuh di lantai dan menghalau debu darinya. Ia ikut duduk di dekat Taehyung meski sekat di antara mereka cukuplah berjarak. Memangku tas milik Jennie bangga. Irene juga nampak senang dengan kehadiran perempuan itu. Jennie seperti kakak yang baik sejak pertemuan pertama mereka di pesta semalam. Dia juga merupakan putri dari pengusaha kaya raya sehingga Irene tidak mengkhawatirkan apa pun. Jennie perempuan terhormat.
Maka Taehyung buru-buru mengalihkan tatapannya ke layar televisi ketika ia melihat pergerakan Irene. Seperti yang ia duga, wanita itu hendak mengajaknya berbicara.
“Sudah pukul delapan. Adam harus tidur. Sepertinya kau juga harus mengantar Jennie pulang.”
Irene tahu, ia merasa bahwa suaminya kurang nyaman dengan kehadiran perempuan muda itu entah kenapa. Taehyung memang agak posesif pada Adam meski tak jarang ia juga menelantarkan putranya itu. Sebagai ganti, ia limpahkan semua kesalahan pada Irene seolah dosanya pada Taehyung memang begitu besar. Sangat fatal. Dan sebagai wanita yang mencintai suaminya, Irene terlalu lemah untuk melawan. Lagi pula sudah banyak petaka yang ia jejalkan pada Taehyung. Ia maklum. Meminta dicintai balik terlalu tidak tahu diri.
“Suruh anak itu ke mobil,” sahut Taehyung singkat sebelum ia melesat pergi.
Irene tersenyum. Lantas ia memanggil Jennie.
“Adam, Kakak Jennie harus pulang. Kau juga harus tidur, sudah malam.”
Maka hilanglah senyum anak itu. Ia menatap Jennie tajam menolak ditinggal. Kasihan sekali sebenarnya melihat bibirnya mencebik dan matanya berair. Tapi Jennie sudah menunggu ini sejak tadi. Main dengan Adam cukup menyenangkan, tapi bermain dengan ayahnya tak kalah mengasyikkan. Jadi ia bisikkan sebuah janji untuk anak itu, dan Adam memberinya sebuah pelukan sebelum Jennie pergi.
Semudah itu dia mencari sekutu.
“Kau membolos,” tuduh Taehyung ketika Jennie sukses mendaratkan pantatnya di kursi mobil.
Belum juga dia memasang sabuk pengaman, pria itu sudah menodongnya dengan tuduhan tak menyenangkan. Jennie tahu perbincangan malam ini akan berlangsung panjang, jadi ia hanya terkekeh hingga mobil mulai meninggalkan garasi rumah.
“Aku terluka, Ahjussi. Lagi pula aku jadi super hero hari ini. Kalau tidak ada aku, kau mungkin sudah temukan istri dan anakmu di kamar mayat rumah sakit,” sahut Jennie acuh.
“Aku serius, Jane. Aku tidak suka kau dekat dengan Adam.”
“Kenapa? Kau takut?”
“Bukan begitu. Kau tahu aku pasti akan menceraikan Irene. Mohon bersabar.”
“Tapi aku tidak yakin Ahjussi mau serius denganku. Kau sedang berusaha menghindariku. Kau mau kabur dariku.”
“Jika nanti Irene tahu kaulah orang yang membuatku menceraikannya, tidakkah itu mengganggumu?”
“Aku sama sekali tidak peduli.”
Taehyung diam. Menjatuhkan kepalanya pada sandaran kursi, ia berusaha abai ketika Jennie mulai berhambur memeluknya.
Berselingkuh sungguh membuat Taehyung harus memeras otak.
p a r o q u e t
Irene mengerti Taehyung sedang dalam keadaan tidak terlalu baik. Nampaknya pria itu sedang banyak pikiran. Ia tak kunjung tidur. Nampak melamun menatap langit-langit kamar selagi jemarinya tak berhenti mengelus surai legam Adam. Anak itu sudah terlelap dalam ketiaknya menyisakan kedua orang tuanya yang terkena insomnia.
Sesungguhnya Irene adalah istri yang cukup perhatian. Dia peka. Namun, terkadang ia takut. Apa yang ia lakukan tak pernah benar di mata Taehyung. Ia lelah diperlakukan kasar sejujurnya. Meski Taehyung tak pernah memukul, diabaikan rasanya lebih sakit dari itu.
“Ada yang mengganggu pikiranmu?” Irene memberanikan diri bertanya.
Taehyung menoleh. Temukan Irene sedang meringkuk layaknya janin di samping Adam. Memasang raut khawatir. Taehyung sadar dia terlalu kasar pada wanita ini selama mereka menikah. Padahal, ia sudah berjanji akan menjaga wanita itu dengan baik pada seseorang, tapi kenyataannya Taehyung tidak becus menjadi seorang suami. Dalam wajah cantiknya, Irene nampak benar-benar kering. Dia haus akan perhatian.
“Ada sedikit masalah di kantor.”
Mata Irene sedikit melebar ketika jawaban itu datang. Salah dengarkah dia karena kalimat Taehyung barusan terdengar sangat lembut? Seolah dia ingin membagi keluh kesahnya. Dia ingin membuka diri.
“Kau bisa ceritakan padaku,” bujuk Irene lembut.
“Sudah larut malam. Sebaiknya kau tidur.”
Dalam ketercengangannya Irene tersenyum. Mungkinkah Tuhan sudah mengetuk hati suaminya? Dia tidak pernah sebaik ini. Biasanya yang Taehyung lakukan hanya marah-marah, tapi kali ini terlalu manis.
“Kau menanggapiku, Tae,” kata Irene kemudian. Terlalu senang membuatnya tak bisa menahan kegembiraan di hatinya. “Aku tahu kau sebenarnya orang yang lembut. Aku senang kau mau bicara padaku dengan tanpa emosi. Aku selalu menunggu saat-saat seperti ini. Aku tahu kau pasti berubah,” sambungnya senang.
“Kau jangan salah paham.” Dan penolakan itu memudarkan senyum Irene.
Bisa ia lihat sorot mata Taehyung kembali tajam.
“Aku hanya berpikir sudah seharusnya aku baik padamu. Aku sudah berjanji untuk menjagamu dan Adam. Kau warisan yang dititipkan kakakku sebelum meninggal. Hubungan kita hanya sebatas itu, jadi tolong pikirkan mendiang kakakku juga.”
Ya. Andai Irene bertemu Taehyung lebih dulu sebelum jatuh cinta dengan kakaknya. Semua takkan serumit ini.
Liu_
KAMU SEDANG MEMBACA
PAROQUET (✓)
FanfictionJodoh itu bisa dengan siapa saja. Aku bahkan tidak sekali pun berencana untuk menetap di sisinya selagi dia menetap di hatiku. Hanya saja kadang aku menyalahkan Tuhan ketika jiwa tak tahu diriku menolak kenyataan, bahwa aku lahir lebih lambat dua pu...