“Sudah waktunya seseorang pergi.
Tempat ini terlalu penuh.”
p a r o q u e t
“Kali ini saya benar-benar memperingatkanmu, Jane. Jangan macam-macam. Bagaimana pun janin itu darah dagingku. Aku ingin mempertahankannya.”
Mereka telah berdebat panjang tentang ini. Meski Jennie selalu mengiyakan, Taehyung tidak begitu percaya, sebab selama ia mengenal Jennie, perempuan itu cukup pembangkang. Taehyung hanya tidak tahu ketika ia mengatakan itu luka Jennie yang terlupakan berdarah kembali. Jennie juga sempat memiliki janin di perutnya, tapi tak pernah ada yang mengatakan untuk mempertahankannya sampai akhirnya janin itu mati.
Di sini, Jennie hanya merasa perlakuan Taehyung tidak adil. Dia begitu peduli pada Irene yang tidak dicintainya, sementara dia tidak memikirkan perasaan Jennie yang harus menunggu sembilan bulan lagi untuk bisa memiliki Taehyung secara legal.
“Aku hanya mencintaimu, kau tahu, 'kan? Tidak perlu khawatir aku akan lebih memperhatikannya karena dia hamil. Tidak akan ada yang pernah berubah.”
Taehyung mengecup bibir Jennie singkat sebelum melepas sabuk pengaman dan turun dari mobilnya. Garasi kosong saat dia tiba. Jimin mungkin sudah pergi karena harus bekerja. Lagi pula dia punya istri yang harus diperhatikan. Taehyung merasa bersalah telah melibatkan Jimin dalam permasalahan biduk rumah tangganya.
Jennie turun setelahnya. Berjalan mengekori Taehyung agak tidak semangat, sebab sesungguhnya ia tak ingin lagi memijakkan kaki di rumah ini dan bertemu Irene. Mengetahui dirinya hamil, Jennie kembali teringat dengan malam itu. Malam yang menyakitinya. Namun, demi Taehyung ia kembali dan bersandiwara lagi.
Irene menyambut mereka di ruang tamu dengan mata bengkak dan wajah pucat. Melihat keadaannya, Irene pasti telah banyak menangis. Namun, dia berusaha tersenyum pada Jennie. Tidak merasa curiga sama sekali kenapa perempuan ini pulang bersama suaminya, sebab hal itu sudah berlaku sejak Jennie tinggal di rumah ini. Irene justru senang, sebab dengan pulangnya Jennie, suaminya juga ikut pulang meski wajahnya masih tidak bersahabat. Hatinya sama sekali tak tersentuh melihat keadaan Irene saat ini. Ia mengabaikan Irene dan wanita itu tetap gigih mengikutinya. Tak berselang lama, terdengar perdebatan lagi dari dalam kamar mereka.
Jennie berusaha mengabaikan keduanya. Mereka mungkin akan lebih sering berdebat setelah ini. Bersamaan dengan keinginannya masuk ke kamar, ia melihat Adam tengah duduk memeluk lututnya di pojok ruangan dengan banyak mainannya berceceran. Kening Jennie mengernyit heran.
Tak biasanya Adam melamun seperti itu sampai ia tak sedikit pun terusik dengan kehadiran Jennie di sisinya. Dan ketika Jennie mengusap rambutnya, bocah itu kaget setengah mati. Dia menatap Jennie dengan muka penuh teror. Dia takut sekali.
Jennie tersenyum. “Sedang apa di sini?”
Adam hanya menggeleng.“Kenapa tidak main legomu?”
Adam menatapnya lagi. Dia kelihatan sedih dan menyembunyikan sesuatu.“Mau bercerita?”
Jennie mulai duduk bersila. Menyamankan diri. Mencoba mengambil jarak sedekat mungkin dengan Adam agar anak itu nyaman dan leluasa mengungkapkan kegelisahannya. Nampaknya Adam sedang memiliki hal yang mengganggu pikirannya. Dia menatap Jennie ragu-ragu kemudian menggerakkan tangannya mengisyaratkan kata ‘ibu’ yang Jennie mengerti.
KAMU SEDANG MEMBACA
PAROQUET (✓)
FanfictionJodoh itu bisa dengan siapa saja. Aku bahkan tidak sekali pun berencana untuk menetap di sisinya selagi dia menetap di hatiku. Hanya saja kadang aku menyalahkan Tuhan ketika jiwa tak tahu diriku menolak kenyataan, bahwa aku lahir lebih lambat dua pu...