BAB 4

0 0 0
                                    

Sean tidak menyangka akan bertemu lagi dengan Allisa. Gadis berwajah manis itu pernah menjadi adik kelasnya serta anak asisten rumah tangga kediamannya.

Semenjak ia di beasiswa secara penuh oleh orang tuanya. Allisa pun yang telah lulus dari sekolah menengah atasnya segera melanjutkan studinya ke Amerika dan menjadi seorang dokter muda yang begitu me mumpuni. Namanya kini dipajang dimana-mana. Bahkan, ia begitu sukses di usianya yang masih terbilang muda.

"Ku pikir tuan tidak akan mengenalku lagi tadinya," ucapnya dengan begitu ramah.

"Dalam waktu kurun sepuluh tahun tidak ada yang berubah, hanya saja caramu berpakaian dan jangan memanggilku tuan, sudah kubilang panggil saja kakak," tutur Sean kemudian.

"Maafkan aku kak," Allisa berkata dengan sedikit nada mengejek. Ia menyeruput cokelat panas miliknya sebelum ia kembali berbicara, "Yah, Amerika bukanlah negara mudah kak. Aku harus banyak belajar adaptasi disana, dan budaya mereka cukup bebas. Kakak tau sendirikan jika aku agak risih dengan hal yang seperti itu, jadi aku memilih gaya kasual tapi penuh agak sedikit elegan. Feminim bukanlah genre ku,"

"Aku cukup khawatir saat kau mendapatkan beasiswa disana. Tapi melihatmu baik-baik saja, itu membuat ku lega,"

"Terima kasih atas ke khawatiran kakak,"

"Owh, ya. Bukannya kau bertugas di Bogor?" tanya Sean.

"Aku sudah dipindahkan di rumah sakit dekat sini,"

"Benarkah?"

"Tentu saja, kenapa juga aku harus berbohong pada kakak,"

"Apa nama rumah sakitnya?"

"Rumah sakit milik keluarga kakak,"

"Benarkah?"

Gadis itu hanya menganggukkan kepalanya tanda mengiyakan.

"Boleh aku meminta nomormu?"

"Tentu saja, kak,"

Sean mendorong ponselnya dan Allisa pun menerimanya. Ia menekan beberapa angka pada layar, setelah itu memberinya pada pria tampan didepannya.

"Owh, ya kak. Aku pamit dulu ya, kasihan ibu sendiri di rumah," pamitnya.

Sean yang mendengarnya memberi tawaran "Owh, kalau begitu aku akan mengantarkan mu pulang,".

"Tidak usah kak, tunanganku sudah menjemput," tolak Allisa dengan sopan.

"Baiklah, sampaikan salamku pada ibu mu ya. Hati-hati dijalan,"

Allisa hanya tersenyum menanggapinya, ia pun beranjak dari bangku yang ia duduki. Tampak oleh Sean siluet gadis itu telah memasuki sebuah mobil sedan hitam. Dan tak lama berselang waktu pun Sean juga meninggalkan cafe tersebut.

-000-

Saat ini jam didinding menunjukkan pukul 6 pagi. Gadis itu baru saja bangun dari tidurnya. Saat ia tengah berjalan menuju kearah dapur, terdengar sebuah suara bel yang berbunyi.

Gadis itupun membelokkan langkahnya, saat ia melihat siapa orang dibalik intercom apartemen miliknya. Sebuah senyum sumringah pun menghiasi wajah ayu miliknya.

Dengan terburu-buru ia pun membukakan pintunya. Dan seseorang pun masuk dari bilik pintu tersebut.

"Pagi sayang," sapanya pada gadis berwajah bantal itu.

"Pagi juga boy, ada apa kau kemari dalam waktu sepagi ini?" ucapnya sambil bertanya.

"Sebelum itu, aku ingin kau menerima ini," orang itu memberinya sebuket bunga mawar putih.

Gadis itu menerimanya dengan gembira. "Terima kasih Kenzo," ucapnya lagi sambil memamerkan gigi putih miliknya.

"Sama-sama, Zea kesayanganku. Owh, ya. Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan padamu," ungkapnya.

Zea melihat perubahan besar dari raut wajah tampan tunangannya. Yang tadinya ia tersenyum dengan begitu sumringah kini terlihat raut wajahnya yang tampak mengkhawatirkan sesuatu.

-000-

Zea menatap rumah megah didepannya saat ini. Gadis itu perlahan memasuki pekarangan rumah tersebut.

Ding dong...

Terdengar suara nyaring sebuah bel. Sebenarnya ia bisa saja menerobos masuk kedalam rumah tersebut. Hanya saja ia merasa tak sopan untuk melakukan hal semacam itu.

Seorang wanita paruh baya tampak tergopoh-gopoh mendekati pintu gerbang dan dengan cekatan ia membuka kunci pagar tersebut.

"Ehhh, non Zea. Ingin bertemu tuan yaa, non?" sapanya dengan ramah serta diiringi pertanyaan.

"Iya, bi Ami. Sean-nya ada?" balasnya.

Wanita yang akrab disapa bi Ami itu pun tersenyum dengan begitu manis. "Tuan ada di ruang bacanya non,".

"Baiklah, saya akan menghampirinya," ujar Zea.

Zea pun berlalu meninggalkan bi Ami. Ia berjalan dengan anggunnya. Gadis itu menaiki satu persatu anak tangga yang telah tersedia. Langkahnya membawa ia ke sebuah pintu yang berada di ujung lorong lantai dua dari rumah itu.

Terlalu hapal akan denah rumah sang bosnya. Karena ia begitu sering singgah di kediaman atasannya karena ini perintah mutlak dari Sean.

Tok, tok, tok...

Suara ketukan pintu beberapa kali ia bunyikan untuk memberi sinyal. Ia meraih knop pintu tersebut dan segera masuk kedalam ruangan.

Sean yang tengah duduk sambil menikmati bacaan bukunya yang tengah ia pegang pun segera menoleh. Ia pun mendapati Zea yang tengah berdiri tersenyum sambil menghampirinya.

"Bisakah senyummu itu hanya milikku saja," Sean berbicara dengan membatin. Cukup lama ia memandang gadis bersurai hitam itu, hingga tak menyadari gadis itu telah duduk disampingnya.

"Ada apa kau kemari?" Sean langsung melontarkan pertanyaannya setelah tersadar akan dari lamunannya.

Gadis disampingnya hanya tersenyum kecil. "Bisakah kau membantuku?" ia bertanya dengan penuh harapan.

Sean memicingkan matanya dan mengangkat sebelah alisnya untuk mencerna apa yang hendak dikatakan oleh gadis itu padanya.

"Malam besok, Kenzo akan mengajakku untuk bertemu dengan keluarganya dan akan membicarakan rencana pernikahan kami. Hanya saja aku tidak bisa membawa keluarga ku kemari. Orang tua ku sudah lama meninggal. Dan aku hanya memiliki nenek dan satu adik lelaki. Tapi, aku tak bisa mengajak mereka kemari dikarenakan nenek ku sedang dalam kondisi yang tak baik. Jadi, aku meminta bantuanmu untuk menjadi waliku di acara besok malam. Apakah kau bersedia?" tanyanya penuh berharap.

Yah, Zea berharap akan sepenuhnya Sean dapat membantunya kali ini. Sean yang telah tahu maksud dan tujuan dari gadis itu datang ke dia hanya karena hal semacam ini. Tak tahukah hatinya tengah terluka?

Sean menghembuskan nafasnya secara kasar dan memejamkan matanya. Ia menimbang-nimbang apakah ia harus pergi atau tidak?

Hatinya berniat untuk menolong sang gadis berparas manis itu, tapi logikanya menolak. Ia terlalu takut untuk melihat dan mendengar peristiwa yang akan ia temui pada jamuan malam besok.

"Zea, sepertinya aku..."

-000-

LOVE MAZETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang