5. The Wedding

244 36 90
                                    

Pernikahan Jeffrey dan Lana berjalan sempurna. Banyak tamu undangan yang memujinya. Memuji bagaimana cantiknya Lana, indahnya dekorasi ruangan dan bahkan enaknya makanan yang disajikan.

Dari jauh Joanna menatap Lana yang juga menatapnya. Dia tersenyum lebar. Lalu melambaikan tangan. Seolah meminta dirinya untuk mendekat.

Dengan langkah cepat, Joanna menuju Lana. Membuat orang-orang yang menunggu giliran untuk berfoto bersama sedikit meradang. Mungkin agak kesal dengan Joanna yang tiba-tiba datang dan menyerobot antrean.

"Aku mau foto dengan Joanna dulu. Ayo!"

Lana menarik tangan Joanna agar berada di tengah-tengah dirinya dan suaminya. Karena wanita itu sendirian. Sehingga tengah adalah posisi sempurna untuk foto bersama.

"Jeffrey, kamu juga gandeng tangannya!"

Jeffrey mengandeng tangan Joanna seperti apa yang Lana lakukan. Meski agak canggung, dia berusaha tersenyum menatap kamera. Sebab masih banyak antrean. Sehingga dia harus cepat.

Jantung Joanna berdebar. Dia berusaha menarik tangan yang Jeffrey pegang. Namun pria itu justru menggandengnya semakin kencang. Seolah enggan dilepaskan.

Setelah fotografer melakukan beberapa kali jepretan, Joanna ingin pergi dari sana. Dia ingin pulang sekarang. Karena sudah tidak memiliki kepentingan juga. Mengingat Lana sudah tidak perlu ditemani dirinya. Karena sudah ada suaminya.

"Selamat atas pernikahan kalian! Aku pulang sekarang, ya?"

"Jangan, lah! Tunggu sampai semua tamu pulang. Aku mau foto denganmu berdua saja lebih banyak."

Joanna menarik nafas panjang. Karena orang-orang terlihat tidak sabar. Sehingga dia memutuskan mengangguk saja. Lalu menunggu di pojokan. Di kursi kosong karena para tamu undangan mulai berebut berfoto sekarang.

Dua jam lebih Joanna menunggu. Sebab Lana dan Jeffrey harus melakukan banyak sesi pemotretan juga saat itu. Sehingga Joanna mulai menguap karena mengantuk.

"Sedang apa kamu di sini? Tidak pulang?"

Tanya Laras yang akan pulang. Dia bersama beberapa kerabat lain juga. Sebab Joanna duduk di dekat pintu keluar. Sehingga sekalian saja dia menyapa sebentar.

"Lana minta aku menunggu, Tante. Mau foto denganku lagi katanya."

Laras tertawa sumbang. Lalu menatap Joanna dengan tatapan meremehkan. Sembari berkacak pinggang.

"Lana atau kamu yang mau foto berdua? Memangnya tidak puas foto bertiga yang kamu di tengah-tengah? Seperti tidak punya etika. Seperti ini jadinya kalau kebanyakan dibantu orang. Ngelunjak! Sudah diberi pekerjaan sekeluarga, dibantu membangun restoran juga, tapi sekarang? Kamu mau mengganggu mereka yang baru saja menikah? Kalau kamu punya empati sedikit saja, kamu akan pulang sekarang! Kamu tidak akan duduk di sini seolah ingin merecoki mereka. Memangnya siapa kamu sampai Lana minta foto denganmu berdua saja? Sok spesial!"

Joanna mulai berdiri sekarang. Tangannya mengepal. Karena kesabarannya sudah di ambang batas.

"Aku teman baiknya. Satu-satunya teman yang dia punya. Tante lupa kalau selama ini Lana dikekang oleh orang tuanya? Kalau tidak ada aku, apa bisa dia bertahan?"

Laras dan orang-orang di belakang mulai tercengang akan ucapan Joanna. Sebab tidak menyangka jika Joanna yang dianggap penurut dan pendiam bisa melawan. Di saat ada banyak orang.

"Maaf, Tante. Tapi anda sudah keterlaluan. Saya juga punya batas kesabaran. Sejak semalam anda sudah berusaha memancing saya, merendahkan saya. Tapi saya berusaha tenang agar tidak menimbulkan keributan. Tapi sekarang, saya tidak bisa lagi bersabar karena anda sudah kelewatan."

"Kelewatan apa? Semua ucapanku benar, kan? Kamu hanya benalu di keluarga Stevan! Hanya karena orang tuamu pernah menolong Stevan saat kecelakaan, bukan berarti dia harus menanggung hidup kalian sekeluarga! Dasar tidak tahu malu! Stevan harus melihat bagaimana sifat aslimu!"

Laras langsung membalikkan badan. Dia mulai pergi dari sana. Diikuti para kerabat di belakang. Mereka jelas ikut mencibir Joanna yang dianggap tidak tahu bersyukur jadi orang.

"Dasar tidak tahu diri! Sudah dibantu malah seperti ini!"

"Tidak bersyukur dia! Mentang-mentang Lana suka padanya, bukan berati dia dianggap sebagai keluarga juga!"

"Dasar benalu! Dia dan orang tuanya tidak tahu diri. Dasar miskin!"

Joanna merasa terbully. Karena dia sendiri dan orang-orang ini banyak sekali. Membuat tanpa sadar air matanya mengalir.

"Ih! Nangis! Baru begini nangis!"

"Dasar orang miskin! Mentalnya lemah sekali!"

"Memang seperti itu, Sist. Makanya miskin!Orang tuanya pasti tidak bekerja keras saat muda, makannya terlilit banyak hutang. Kasihan anak-anaknya sebenarnya, karena memiliki orang tua yang tidak pintar. Taunya buat anak saja. Merencanakan masa depan nol besar. Jadinya anak-anak tumbuh seperti benalu di masyarakat. Seperti dia dan saudaranya."

Joanna langsung pergi dari sana. Dia berlari dan menabrak beberapa orang yang masih berdiri di depan pintu keluar. Membuat mereka menggunjing lebih parah.

"Joanna! Mau ke mana dia?"

Jeffrey menatap Joanna dari kejauhan. Sedangkan Lana mulai meraih ponselnya. Berniat meneleponnya. Karena setelah ini giliran mereka berfoto bersama.

"Ditolak."

"Mungkin dia ada keperluan mendesak. Ya sudah, tadi di ruang rias kalian sudah banyak foto berdua."

"Tapi kita belum foto berdua di sini. Ah, ya sudah. Mungkin benar katamu dia ada keperluan mendesak."

Lana menyelesaikan pemotretan. Lalu dibantu tukang rias untuk menghapus riasan. Karena dia dan Jeffrey akan langsung istirahat di hotel tepat pesta dilangsungkan.

11. 30 PM

Sore hingga malam Lana tidur nyenyak. Dia juga sudah makan. Sehingga tidur kali ini akan berlangsung panjang. Sebab tidak terdistraksi dengan rasa lapar.

Jeffrey sedang rebahan di samping Lana. Dia lelah, karena sejak semalam tidak bisa tidur nyenyak. Sebab agak nervous sebelum pernikahan. Karena ini pernikahan pertamanya. Jelas dia agak grogi juga.

Namun setelah berkali-kali berusaha memejamkan mata, dia terus gagal. Karena ada sesuatu yang dipikirkan. Sesuatu yang mungkin saja banyak berpengaruh di hidupnya.

Ken
Aku di apart skrng, aku mau km dtg

Setelah membaca pesan yang baru saja masuk, Jeffrey langsung bangkit dari ranjang. Lalu bersiap keluar. Meninggalkan Lana yang masih tertidur nyenyak.

Ceklek...

Tidak lama kemudian Jeffrey tiba di apartemennya. Dia melihat Joanna yang sedang tiduran di atas sofa. Dia meringkuk seperti ulat. Membuatnya langsung mendekat. Jongkok di depan sofa sembari mengusap air mata yang masih membasahi wajah.

"Ada apa? Apa mereka berkata yang tidak-tidak sebelum pulang?"

Joanna mengangguk cepat. Membuat Jeffrey langsung memeluk kepalanya. Lalu mengusap rambutnya.

"Akan aku buat mereka tidak bisa melakukan itu lagi padamu mulai sekarang. Kamu tenang saja. Aku akan balas mereka. Kamu tidak lupa kalau bisnis mereka terafiliasi dengan perusahaanku, kan?"

Joanna menganggukkan kepala. Sedangkan Jeffrey mulai melepas pelukan. Lalu mendekatkan bibir mereka.

Kalian mau baca yang panas-panas? Wkwkwkw

40 comments for next chapter.

Tbc...

BEHIND THE BACK PASS [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang