SM2 | Quarante-Quatre

87 13 2
                                    

Dibalik raut datar yang ditampilkan Nix, gadis itu menikmati pemandangan kota mati, juga sesekali menepuk tangan Alfeith yang merayap di pahanya. Butuh usaha besar Nix membujuk Alfeith agar membawa dirinya keluar lagi, tentu saja dengan syarat.

Nix memincingkan matanya kala sesuatu yang menjulang sekilas terlihat dari cela bangunan. Gadis itu membelalakkan matanya dan dengan cepat menepuk berkali-kali tangan Alfeith di pahanya seraya berseru, "Berhenti!"

Alfeith spontan menginjak rem lalu melotot kaget pada Nix yang tak menoleh sama sekali padanya. "Sayang!" serunya.

"Ayo kita ke sana, aku ingin lihat!" ujar Nix, masih enggan menoleh pada Alfeith.

Menghela napas pasrah, Alfeith mendekatkan tubuh hingga hampir menempel di punggung Nix jika gadis itu tidak cepat membuat jarak. Alfeith menatap Nix sekilas lalu beralih pada arah tunjukkan Nix.

"Itu hanya menara rusak Nix, kita ke tempat yang bagus saja," ujar Alfeith dengan helaan napas. Kenapa gadisnya selalu diluar nalar? Ah, tapi itu yang membuatnya selalu menarik.

"Tapi aku ingin ke sana!"

"Tidak."

Akhirnya Nix mau menatap Alfeith, tapi dengan tatapan tajam. Sudut bibir Alfeith tertarik dan dalam kesempatan laki-laki itu mencuri kecupan dari Nix.

"Alfeith!" teriak Nix.

"Ya Honey," jawab Alfeith dengan kekehan.

Nix mendorong wajah Alfeith menjauh lalu mengusap bibirnya. Berdecak kesal seraya membuang pandangan dari Alfeith, menatap ke mana saja asal tidak pada laki-laki itu.

"Oke-oke, I'm sorry, Honey. Kita ke menara itu. Jangan abaikan aku," putus Alfeith pada akhirnya. Sudah cukup dia diabaikan, padahal belum sehari. Diabaikan itu tidak enak.

Nix mendengus. Mobil Alfeith bergerak menuju menara. Nix menahan rasa girang dengan memperbaiki posisi duduk.

Dekat, semakin dekat, semakin cepat juga degup jantung Nix. Gadis itu terperangkah melihat menara tinggi dengan ujung lancip. Tanah di sekeliling menara terangkat membentuk tangga tak beraturan seperti habis gempa.

Nix berseru girang dalam hati. Meraih buku sketsanya dan buru-buru keluar meninggalkan Alfeith yang terperangah. Laki-laki itu memandang tak suka menara di depan sana yang dengan berani menarik perhatian Nix. Ingatkan dia merobohkan menara itu nanti.

"Sweetheart," panggil Alfeith layu seraya menghampiri Nix yang mengagumi menara.

"Boleh ke sana?" tanya Nix dengan binar di kedua matanya yang berbeda warna.

"Tidak Sweetheart. Itu menara rusak, kita tidak tau apa yang terjadi jika kita ke sana," cetus Alfeith. Tanganya laki-laki itu tak diam, dia mengusapkan jari-jarinya di rambut Nix.

Inginnya merengut. Namun benar kata Alfeith. "Sudahlah," ujar Nix seraya berbalik —melangkahkan kaki menuju mobil Alfeith. Gadis itu tanpa ragu duduk di cab board mobil lalu membuka buku sketsanya, pensil menari-nari di jarinya sebelum dia menggores di kertas.

Semilir angin menerbangkan rambut Nix yang dia biarkan, tak ada aksesori apa pun. Alfeith ikut duduk di samping Nix lalu memandang gadisnya. Laki-laki itu senang jika gadisnya senang, tapi kenapa rasanya senang itu terasa janggal? Dan Alfeith tidak tau apa itu.

"Bukannya lebih mudah jika kita ambil gambar saja?" celetuk Alfeith tak membuyarkan fokus Nix.

"Iya, itu lebih mudah. Tapi aku menyukai gambar hasil dari tanganku sendiri," jawab Nix yang sesekali menatap menara ujung lancip itu.

Scorpion MissionsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang