7. Hana Penakut

88 8 9
                                    

Katanya, benda mematikan yang menjalar dalam dada Adam itu bergerak cepat. Bermukim dari tempat ke tempat sampai anak itu lebih kesulitan bernapas lebih sering meski pun sudah melalui berbagai rangkaian pengobatan yang menyakitkan. Semua perjuangannya tidak berguna, Adam ingin marah tapi tidak tahu dengan siapa?

Hana melihat itu, kekecewaan dari sorot mata Adam. Mereka bergandengan tangan, saling menggenggam saat kemoterapi, menikmati rasa sakitnya bersama lalu seolah Hana meninggalkan Adam jauh di belakangnya. Karena hanya Hana yang mengalami kemajuan sementara Adam mengalami kemunduran.

Dokter menyarankan agar Adam melakukan operasi pengangkatan lobus untuk mengamankan paru-paru yang sehat. Sial sekali, padahal rasanya Adam bukan perokok berat tapi kenapa seberat ini? Bahkan Hana tidak merokok kenapa mereka berdua mengalami hal-hal seperti ini?

"Adam mulai besok puasa, 'kan?" tanya Hana. Gadis itu menyempatkan diri untuk menjenguk Adam yang sudah tidak punya jadwal kemoterapi.

"Iya nggak tahu, aku takut." Adam berbaring di ranjang pesakitannya, kedua tangannya mencengkram selimut karena membayangkan dirinya akan berdarah-darah di atas meja operasi. Maksud Adam, bagaimana mungkin orang akan baik-baik saja setelah sesuatu dalam diri dipotong dan diambil?

"Ini buat kamu." Permen kecil rasa mint dari saku cardigan Hana, hal sederhana yang membuat Adam tersenyum.

Remaja usia lima belas tahun itu mengambil permen dan mengamati bungkusnya.
"Mau cium?" tanya sekaligus baca Adam, tulisan dibalik bungkus permen kis warna hijau itu.

"Mau!" Hana mencondongkan tubuhnya khususnya area wajah, matanya terpejam agar ciuman Adam menjadi sebuah kejutan.  Kira-kira dimana bibir seksi itu akan mendarat? Pipi atau bibir? Membayangkannya saja membuat Hana memanyunkan bibir, untung sudah makan permen pasti aroma mulutnya tidak bau.

Adam bangkit dari posisinya membawa kepala Hana mendekat dan melayangkan kecupan yang sangat-sangat lama di kening Hana. Entahlah, mereka terlalu sering merajakan satu sama lain dan terlalu sedikit bersentuhan. Ketika bibir Adam menyentuh kening, dunia seakan berhenti berputar.

"Apa pun yang terjadi besok, meski aku sangat takut gak bisa nemuin kamu lagi. Aku harap, kita ketemu lagi."

Hana berkaca-kaca karena mungkin takutnya lebih besar daripada Adam.

Gadis itu mengangguk, "ayo kita ketemu lagi setelah operasi."

***

Setelah adegan mual dan sensasi sekarat selesai Hana mengajak Ryan datang ke sebuah perpustakaan kota yang terletak tak jauh dari rumahnya. Ryan menurut saja karena mungkin buku adalah penenang bagi adiknya yang sudah berkerja keras dan ditambah sedih pula.

Karena sudah malam, perpustakaan umum ini sepi, ditambah lagi literasi negeri juga tidak sebagus itu. Sunyi seperti kesempurnaan yang Hana inginkan.

"Duh, kenapa, sih? Buku ini jelek banget isinya soal semua," ucapan itu menelusup pendengaran Hana.

Ternyata itu berasal dari balik rak tinggi, ada dua gadis yang mungkin sedikit lebih muda darinya sedang bermain-main dengan buku ujian nasional SMP.

"Namanya juga belajar," sanggah rekannya.

Hana mendekat, karena seram juga kalau harus membaca sendirian.

"Ciaaaa, nggak suka belajar!" rengek gadis berambut pendek dengan pipi menggemaskan.

"Jangan dipaksa, ini udah malem. Kalian tahu, yang paling penting dalam hidup adalah bahagia," ucap Hana si paling extrovert, mereka berdua saling pandang bertukar telepati 'siapakah orang asing yang ikut campur percakapan kita ini?'

"Kamu baca ini dulu biar refreshing." Hana memberikan buku Jenggala yang selalu dia bawa karena itu hartanya. Lagipula, seharusnya lebih banyak orang yang membaca tulisan Adam itu, 'kan?

"Tata emang gitu, 'Kak. Suka males belajar!" Yang bermama Cia menghardik, tapi yang bernama Tata sudah asik dengan dunianya sendiri.

Hana tersenyum, sudah sepi dunianya karena proses hidupnya yang sakit ini dihabiskan untuk menjadi manusia individualis di ruang rawat.

"Kamu belajar fisika?" tanya Hana, matanya berbinar bertemu dengan tanda Ohm dan aliran listrik.

"IPA, Kak."

"Aku jago, sini aku ajarin!" Hana menarik buku Cia, gadis itu lama-lama baik-baik saja dengan tingkah Hana yang sok akrab karena itu cukup berguna.

Hana rindu fisika, Hana rindu mengerjakan soal untuk Adam. Hana rindu memberikan nilai 100 dengan bangga untuk Adam.

***

Sudah pukul sebelas malam, gadis-gadis itu harus segera pulang. Apalagi gadis SMP tingkat akhir seperti Tata dan Cia, meski rumah mereka ada di belakang perpustakaan tepat.

"Bukunya bagus banget, Kak!" Tata begitu antusias, kedua matanya berbinar terang senyumnya tulus. Berbeda dengan sorot mata Hana yang berkaca-kaca.

Adam, kamu dengar?
Buku ini bagus bukan karena ada aku dan kamu, bukan karena aku mencintaimu. Buku ini memang menakjubkan, kamu harus terus membuat buku-buku yang bagus. Hiduplah lebih lama dan tidak terlupakan untuk waktu yang tidak pernah dibayangkan.

Hana mengambil buku dalam pelukan Tata, gadis itu tampak sedih.

"Setidaknya, sekali dalam seumur hidup kamu udah baca tulisan Adam Darmawangsa." Hana tersenyum.

"Hana, ayo pulang!" Interupsi datang dari Ryan.

Hana kemudian melambaikan tangan ke dua gadis kecil itu sebagai tanda perpisahan.

***

"Buku Adam sebagus itu loh, Mas. Dia harus berhasil operasi besok." Hana bermonolog, kakaknya menggenggam tangan Hana meski masih fokus menyetir.

"Jangan takut, Adam pasti mau menulis lagi untuk kamu nanti."

"Menurut lo emang ada orang yang hidup pas dadanya dibelah? Paru-parunya dipotong? Ishhh itu sakit banget!"

"Banyak, Hana."

Iya banyak, tapi Hana sudah terlanjur takut.

***

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
BABYBREATH Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang