9. Kematian itu Bercanda

134 10 9
                                    

****

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

****

"Mas Adam, ada yang mau ketemu. Ibu-ibu di pos satpam." Mbok Ina memberikan ponselnya ke anak majikan yang sedang menikmati acara sore di televisi yang dibiarkan mengoceh sendiri, alih fungsi menjadi radio karena Adam berbaring di sofa tanpa melakukan apa-apa. Masa pemulihan pasca operasi Adam benar-benar membosankan.

Adam bangkit dari sofa, memandang ponsel itu lamat-lamat. Ibu-ibu yang wajahnya terlihat seperti wanita Indonesia biasa, tidak ada bayangan unik yang terlintas di kepalanya.

"Katanya mau mengembalikan TWS." Setelah itu Adam baru membuka mulutnya, mengiyakan kalau memang dia mengenal wanita itu. Beberapa hari lalu saat menjalani perawatan intensif pra operasi ada anak yang usianya sekitar tiga tahun di bawahnya merengek ingin mendapatkan benda itu dari Adam.

Awalnya Adam merasa, dia tidak kecil lagi. Kenapa dia harus merengek atas satu hal yang bukan miliknya?

"Suruh masuk aja, Mbok."

***

Wanita setengah baya itu menyerahkan benda jarahan anaknya ke depan Adam kemudian memandang wajah anak usia lima belas itu dengan sendu. Wajah pucat itu sudah sedikit merona, anak ini sudah bebas.

"Terima kasih, ya, Kak." Adam mengangguk, mengambil benda kecil itu dari meja.

"Selamat atas operasinya, Kak. Kia sudah pergi ke Tuhan." Adam termenung mendengarnya, anak menyebalkan yang dia temui kemarin sudah meninggal? Bukankah penyakitnya tidak terlalu darurat? Kenapa orang bisa pergi semudah itu?

Akhirnya Adam tidak menerima benda kecil itu, ia berikan kepada Ibu dari mendiang Kia. Katanya mendengarkan lagu akan membuat si Ibu merasa lebih baik seperti yang Kia lakukan dengan barang miliknya itu.

Mengantar kepulangan Ibu Kia dia gerbang, Adam merasakan nyeri di dadanya. Remaja dengan tubuh tinggi itu menghirup udara dengan hikmat, niatnya akan memperbaiki rasa sakit dalam dadanya yang semakin intens.

"Mas Adam?" tegur pria dewasa dengan seragam putih hitam itu. Melihat ekspresi Adam yang kesakitan membuatnya panik bukan kepalang.

"Adam?" Sosok pria dewasa yang baru saja berhasil memasukan mobil ke dalam garasi berlari kala menyadari bahwa anaknya sedang kesakitan dengan tangan yang menekan dada yang sakit tak karuan.

***

Sejak dinyatakan sakit, keluarga ini memiliki cadangan oksigen yang cukup untuk memperpanjang usia Adam. Anak itu sedang meringkuk merasakan sakitnya bernapas. Padahal, konon setelah menjalani operasi dia akan hidup normal. Ternyata, dia benar-benar tidak memiliki tempat yang aman untuk melarikan diri dari bayang-bayang gagal pernapasan.

"Katanya Adam bakal sembuh!" Sania menangis, menghentak-hentakan kakinya karena kesal. Dia sudah terlewat bahagia kemarin sampai mungkin melewatkan beberapa bagian.

"Masa pemulihan Adam, 'kan dua puluh satu hari. Adam harus minum obat penghilang rasa sakit terus, 'kan? Adam sudah minum hari ini?" tanya Damar pada anaknya yang sudah mandi keringat.

Adam menggeleng, mau bagaimana pun dia hanya anak lima belas tahun yang mungkin belum tentu paham tentang tanggung jawabnya meminum obat meski itu demi kenyamanannya pribadi. Saat tidak diawasi itulah waktunya Adam membolos melakukan perawatan. Karena dia berpikir dia sudah bebas, sudah lepas dari penyakit.

***

Hana duduk di bangku panjang berwarna putih di bawah pohon tabebuya. Hari ini bunga-bunga di pohon itu sedang mekar dan dia merasa akan lebih indah kalau mereka melihatnya berdua.

Berulang kali Hana mengecek ponselnya, beberapa kali menelepon Adam, untuk pesan yang dikirim sudah banyak sampai jumlahnya tidak Hana perhatikan.

***

Keadaan rumah Adam menjadi riuh karena teriakan kekhawatiran, panik, tidak tahu bagaimana caranya tenang. Bagaimana tidak? Masker oksigen Adam tidak lagi bersih karena darah yang tiba-tiba keluar dari mulutnya, mendesak keluar tanpa bisa Adam kendalikan.

"PAPA!" teriakan Sania nyaring terdengar begitu melihat darah mengalir melalui sudut bibir anaknya. Suaminya dengan segera menarik teleponnya untuk menunggu pertolongan dari Rumah Sakit, kasus ini tidak mungkin mereka hadapi sendiri.

Tengan Adam mengepal kuat sampai terlihat kejang, anak itu basah dengan keringat dan darah. Pandangan anak itu sudah semakin kosong, membuat semakin takut.

"Aaaaa!! Adaaam!" teriakan Sania kembali memperkeruh suasana, tepat menggelegar kala sekali lagi Adam muntah darah.

Ini sudah lebih dari satu jam rasa sakit Adam tidak kunjung reda bahkan semakin intens setelah mendapatkan oksigen dan obat penghilang rasa sakit.

***

Bunga-bunga tabebuya turun dari tangkai seperti sakura musim semi. Meski terpaksa harus pulang tanpa bertemu Adam rasanya Hana harus sedikit menikmati indahnya dunia.
"Adam harus pemulihan, gak mungkin bisa keluar dulu. Harusnya aku yang ke sana, 'kan?" Hana mengambil setangkai bunga yang jatuh, bunganya masih cantik.

Sebenarnya yang jauh lebih menyakitkan adalah, Adam tidak datang di hari ulang tahunnya.
Apa salah? Ini pemikiran anak-anak? Iya Hana juga masih anak-anak yang belum dewasa, sesekali Hana ingin memvalidasi perasaannya.

***

Sepertinya Adam bergelut dengan maut lagi, saat ini rasanya Adam tidak akan menang. Dadanya sakit dan panas, kesabarannya pun tidak benar-benar hilang. Teriakan Ayah dan Ibunya layaknya gema di ruang hampa yang membuat mereka terdengar bungkam. Adam tidak mendengar apa pun.

Kematian itu bercanda, ya?

Mati itu seperti apa? Ada beberapa orang yang tidak bernapas lalu disebut mati. Sedangkan aku berulang kali tidak bernapas masih hidup hingga saat ini.

Setiap hari, setiap rasa sakitnya datang kemari aku merasa bahwa kematianku hari ini. Tapi tidak!

Apa orang tuaku nanti akan percaya kalau aku mati? Aku sudah terlalu sering kesakitan berakhir tidak sadar dan siklusnya berulang.

Keadaannya, apa bisa lebih buruk lagi?

"Adam!" Adam mendengarnya. Matanya terbuka meski tanpa tenaga tapi Adam berhasil lolos dari maut.

"Jahitannya lepas." Kedengarannya nyeri, tapi Adam tidak fokus merasakan kulitnya yang kembali terbuka. Mulutnya sudah tersumpal juga dengan benda asing, ia tidak punya kuasa untuk protes dengan hal-hal seperti ini.

"Tidak apa-apa," jawab dokter yang terlihat penuh dengan peluh karena harus kerja keras untuk memberikan pompa pada dada Adam, jantung di dalamnya sempat tidak berdetak.

"Anaknya sudah bangun? Ah brarti harus pelan-pelan, ya?" Dokter wanita itu memang dokter favorit Adam, setidaknya dia tahu jika prosedur mereka menyakitkan jadi tahu bagaimana harus bertindak hati-hati.

"Bunga tabebuya di jalan menuju rumah kamu sedang mekar, loh. Ayo cepat pulih dan lihat bunganya." Wanita seumuran Sanua itu berucap sambil menjahit kembali kulit yang merenggang.

Ah iya, Adam jadi ingat pesan Hana.

Setelah jahitannya selesai, manik mata Adam memandang dokter langganannya itu. Mata cantik yang dipandang itu berkaca-kaca, tangannya yang sudah dibebaskan dari sarung tangan medis membelai kepala Adam yang mulai ditumbuhi rambut.

"Adam, tidak semua orang bisa sampai ke titik ini. Maksudnya, tidak semua orang bisa bertahan di titik ini. Kamu adalah salah satu anak terkuat yang pernah saya lihat, cepat sembuh." Dokter tersenyum, setelah sekian lama dirawat di rumah sakit sang petugas kesehatan ini merasa terharu dengan ketahanan Adam dalam bertahan hidup.

***

GIMANA BJIR UDAH TERGUNCANG BLOM?

BABYBREATH Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang