"Luke. Luke Robert Hemmings."
Jantungku berdesir lebih cepat daripada biasanya, detakannya bahkan dapat kurasakan sampai ke ubub-ubun. Aku benar-benar tidak percaya, aku telah menemukannya. Luke Robert Hemmings. Lelaki yang selama ini kucari, lelaki yang selama ini ada di dalam otakku setiap hari, lelaki yang selalu berada di dalam setiap lantunan lirik lagu yang kunyanyikan.
Aku memeluk tubuhnya begitu erat, disinilah tempatku menangis saat ia masih berada di sampingku. Air mata yang kubendung tak dapat terbendung lagi, tangisanku begitu pecah secara refleks. Tangisan kebahagiaan. Tuhan, aku benar-benar merindukannya.
Ini dia.
Ini My Luke.
Kurasakan tangannya berada di bahuku. Dia masih mengingatku. Aku menangis di dada bidangnya. Rasa rinduku selama ini seolah terbayar. Dua tahun aku menunggunya dan itu tidak sia-sia.
Tak lama tangannya bergerak mendorongku menjauh dari tubuhnya, hal itu sontak membuatku bingung. Ada apa dengannya?
Luke menatapku menatapku lekat-lekat, mata birunya menggelap. Tatapannya begitu tajam, dia melihatku seakan aku adalah manusia yang menjijikan. "Who are you?"
Hatiku mencelos. Tiga kata itu seolah menusuk hatiku dalam sekejap, kalimat itu seolah menghancurkan semua harapan-harapan dan mimpi yang pernah Luke katakan menjadi berkeping-keping. Ini begitu sakit. "Apa kau ---" Aku bahkan tidak dapat menyelesaikan kalimatku, ini terlalu menyakitkan.
"Serius? Aku barus aja berkenalan denganmu dan kau berani memelukku? Woah," katanya lagi.
Aku tidak dapat merasakan dimana tempatku berpijak saat ini, tanganku melayang menampar pipinya dan itu terjadi begitu saja tanpa kusadari. Dengan air mata yang masih mengalir, aku melangkahkan kakiku menuju pintu luar dan melepaskan high heels untuk mempermudah lariku. Entah kemana arahku pergi sekarang. Aku berharap menemukan taksi atau apa pun disini tapi nampaknya tak ada yang lewat. Air mata yang jatuh sudah melunturkan make up ku daritadi dan itu membuatku tampak benar-benar kacau.
Kuberhentikan langkahku saat aku sudah berada cukup jauh dari frat. Kakiku seperti tak mampu lagi menopang tubuhku. Aku terduduk lemas sambil menenggelamkan wajahku di lututku. Kejadian tadi terus saja terulang di otakku seperti film pendek. Kata-katanya saat dua tahun lalu bercampur dengan kata-katanya saat kejadian terngiang bersautan di telingaku.
"Hey." Seseorang menepuk bahuku membuatku mendongak. Kutemukan laki-laki berwajah asia disitu. Wajahnya tampak familiar. Tapi siapa?
-flashback on-
"Hey, lihat. Harusnya kau yang harus lebih berhati-hati."
"Tidak. Harusnya kau."
"Baiklah, aku minta maaf. Oke?" katanya, membuatku hanya mengangguk sebagai jawaban. "Kau kekanak-kanakan, berapa umurmu? Lima tahun?"
Mendengar itu, telingaku panas. "Dasar kau sialan. Tutup mulutmu karena kau sangat menyebalkan."
Lelaki itu memutarkan bola matanya, "Yah, terserah," jawabnya. "Aku harus cepat-cepat pergi karena mata kuliahku akan dimulai."
"Bye."
"Namaku Calum, untuk informasi."
-flashback off-
"Kau Calum kan?" Kataku sambil menghapus air mataku yang sudah bercampur dengan mascara yang kugunakan. Dia mengangguk.
"Sini kubantu berdiri." Calum mengulurkan tangannya. Aku menatapnya sebentar lalu menyambut ulurannya. Tiba-tiba kejadian itu menghantui lagi membuatku menundukkan kepalaku. Rasanya air mataku akan meluncur lagi. "Ayo kita ke mobilku saja. Aku tau kau sedang sedih."
Aku mengangguk pelan.
"Jadi siapa namamu?"
Aku mendongak ke arahnya. "Hailey."
Dan dia hanya mengangguk sambil menggenggam tanganku kearah mobilnya. Mengapa ia melakukan ini padaku? Faktanya, aku baru saja mengenalnya beberapa jam yang lalu dan ia dengan baiknya mau menolongku.
Akhirnya, kami sampai di tempat dimana mobil Calum diparkirkan. Aku masuk ke dalam mobil dan duduk di kursi penumpang. Mulutku masih tetap bergetar. Aku melemas, seakan ada yang meninju hatiku dari dalam. Masih terlintas di dalam benakku semua kalimat yang Luke katakan. Apa dia benar-benar sudah melupakanku?
"Mengapa kau melakukan ini padaku?" tanyaku pada Calum ketika ia memasuki mobil.
Calum menoleh, "Melakukan apa?"
"Kau... begitu baik denganku. Kau mau menolongku. Mengapa kau melakukan ini?"
Sudut bibir Calum melengkung keatas, ia tersenyum simpul. "Karena aku orang baik."
"Kau tidak baik, tadi pagi kau mengatakan umurku lima tahun."
"Itu salahmu karena menyalahkanku. Harusnya kau yang berhati-hati, Nona."
Aku hanya memutarkan bola mataku, lalu menatap ke arah jalan. Seketika, awan keheningan membentang diantara kami. Tak ada satu pun diantara kami yang mau membuka percakapan. Dan hal itu terus berlangsung, sampai mobil Calum berhenti tepat dirumahku dan turun dari mobilnya.
***
Aku terbangun dari tidurku ketika sinar matahari masuk dari celah-celah jendela kamarku. Kepalaku masih terasa sangat berat akibat menangis semalam. Kutarik napasku dalam-dalam, mencoba untuk menghilangkan pemikiran tentang Luke. Namun tidak bisa.
Rasanya begitu sakit ketika mengingat janji Luke bahwa ia akan menemuiku, setidaknya ia menepati janjinya sebagai seorang sahabat meskipun aku memiliki perasaan lebih terhadapnya. Namun nyatanya, air mata itu mengalir lagi dari pelupuk mataku meskipun aku sudah mencoba untuk tidak menangis lagi.
Lagi-lagi, aku menarik napasku dan beranjak keluar dari kamar untuk mengambil segelas air putih di dapur. Aku berjalan terburu-buru menuju dapur, lalu mengambil gelas dan mengisinya dengan air putih.
"Patah hati, eh?"
Astaga, Ashton si kakak yang tidak mengerti adiknya datang disaat yang tidak tepat. "Tidak."
"Kau berbohong, lalu mengapa matamu sembab dan menangis semalaman?"
****
halooow gimana gimana? hehehe gantung again:p gatau kenapa kita jadi hobi gantungin chapter wkwk ditunggu yap part berikutnya.
makasih banget buat yang udah vote sama comment sejauh ini. muaaaaaaah xx
KAMU SEDANG MEMBACA
Promise » lh
Fanfiction"Is promise meant to be broken, Luke?" But, she doesn't know what happened. Copyright © cuttie-penguins & weirdkido 2015.