Tim Pink : Ernianti Efendi, Hobi, Arravia
***
Nadia memang anak yang cerdas. Kamu harus mencontohnya, Rena. Rena segera menoleh pada Darma —sang ayah— yang baru saja memberi pujian pada sahabat Rena, yaitu Nadia.
Senyum Rena seketika terenggut. Ada yang terbakar dalam dadanya. Ada cemburu yang tumbuh dalam hatinya. Rena kini berganti menatap Nadia yang tengah menerima medali di atas panggung, disambut dengan tepuk tangan dan pujian dari berbagai arah. Sorot mata Rena tidak lagi sedamai sebelumnya. Ada yang terasa sesak di dada, hingga tatapannya berubah tidak senang.
Begitu sosok Nadia turun dari panggung, banyak yang menghampiri dan memberinya selamat. Rena hanya menatapnya dengan perasaan sulit dijelaskan. Satu sisi bangga melihat sahabatnya menyabet juara satu, sisi lain ada yang membuatnya kesal melihat senyum Nadia saat ini.
Hidup Nadia tampak sempurna, dengan segudang prestasi, menjadi siswa favorit para guru, lalu menjadi siswa unggulan di sekolah. Sekarang mungkin akan bertambah satu lagi, akan dijadikan perbandingan bagi ayahnya. Dengan semua kesempurnaan itu, hanya satu yang Nadia tidak miliki, uang. Itu pun kian membuat Rena kesal.
Rena! Nadia melambai, segera Rena berpaling. Memilih berjalan pergi dan masuk ke dalam mobil tanpa mengucapkan apa pun.
Rena menatap Nadia dari dalam mobil, hingga tanpa sadar sang ayah sudah masuk dan duduk di kursi pengemudi.
Ayah salut sama Nadia. Selain memiliki otak cerdas, dia juga bekerja keras. Sekali lagi, sang ayah memberi sanjungan pada Nadia.
Sebaiknya kamu juga jangan hanya main terus. Ayah juga ingin kamu membuat nama keluarga kita harum. Bagaimana kalau kamu ikut les privat?
Rena mendengkus. Belum puas juga ternyata ayahnya membuat kesal hari ini. Setelah memuji Nadia, kini ayahnya memberi ide buruk dengan dalih nama baik keluarga. Dengan tangan mengepal, Rena berkaca-kaca menahan segala kata di mulutnya.
Aku akan bikin Ayah bangga. Jadi, tenang saja. Tanpa les privat juga Rena bisa ngalahin Nadia! Dengan emosi Rena mengatakan itu tanpa pikir panjang.
Sesampainya di rumah. Ia menjadi bingung dan panik. Merutuk atas ucapannya dalam perjalanan pulang tadi. Entah bagaimana Rena akan menepati janjinya. Mengalahkan Nadia? Rena menertawakan kebodohannya sendiri. Tidak seharusnya dalam keadaan marah dia memberi janji yang dia sendiri sadar sulit untuk mengabulkannya.
***
Matahari begitu terik saat itu, hawa panasnya merengkuh erat Jakarta Timur. Kedua gadis yang tengah berada di tengah lapangan itu telah bersimbah keringat. Rena mengikat rambut yang bergaya potongan wolf cut sembari berkomentar, Cuacanya panas banget hari ini.
Mereka kewalahan menghadapi panas yang kian menyala-nyala dari dalam maupun luar tubuh. Beberapa siswa sudah mulai mundur dari lapangan, begitu juga Rena dan Nadia yang telah duduk di pinggir lapangan seusai pelajaran olahraga. Keduanya duduk di bawah pohon, menyejukkan diri. Kemudian, Rena menghentikan kenikmatan itu sejenak. Dia menoleh ke arah Nadia dengan sebuah tatapan yang sulit diartikan melalui kata-kata. Semua rasa bercampur baur dalam benaknya.
"Nad, kamu kok bisa sehebat itu, sih?" Satu pertanyaan yang akhirnya lolos dari bibir Rena.
"Ada apa?" Nadia lekas menyadari ada yang tidak beres dari sahabatnya.
"Kamu selalu juara satu, selalu jadi pemenang dalam setiap lomba, selalu terlihat unggul di mata orang-orang, " ucap Rena yang tiba-tiba ingin lebih jauh melepas isi hatinya itu.
"Kamu cemburu dengan nilai akademikku? Kamu juga tambah lebih hebat dariku, pandai melukis. Pada dasarnya kehebatan bukan hanya dilihat dari nilai saja, Ren. Aku yakin kamu pasti bisa dan suatu hari nanti giliran kamu yang juara satu, " sahut Nadia sembari mengusap pelan bahu Rena. Namun, Rena hanya terdiam meresapi apa yang sahabatnya katakan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Kolaborasi Cerpen
Short StoryDalam beberapa kisah pendek ini terdapat tulisan yang menarik dan penuh semangat dari tiga orang yang belum saling kenal menjadi satu kelompok kolaborasi. Berjuang menyatukan ide serta pikiran, menyesuaikan karakter yang berbeda-beda. Bahkan, sering...