1/21/24

264 119 139
                                    

\ play the mulmed for a better experience, tapi kalo mumet , jaangaan \

\ play the mulmed for a better experience, tapi kalo mumet ,  jaangaan \

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Marpoyan Damai, January 2024

Apalah dia... Apalah. Ya Tuhan, apa sih maunya dia?!

Tiba-tiba saja emosiku mengganas. Perasaan tadi sudah bisa ketawa-ketiwi gara-gara bertemu dua bokem asing. Ohiya, pasti karena suhu udara di atas 35°c nih, iya pasti. Lihat, tanganku saja sudah mengepal kuat, suasa di sekitarku pun gelap pekat, dan sekarang gerahnya sampai bisa dari kepala turun ke hati.

Aku di sore yang menyenangkan ini, berada dekat taman bandar udara yang ramai sejak kedatanganku pagi sekali tadi. Kondisiku? Heh, jangankan orang lain, diri sendiri saja tidak peduli jika bentukanku sudah mirip DPO a.k.a Daftar Pencarian Orang. Kalau boleh mengestimasi, setidaknya aku baru mendarat atau masih menahan mual di atas pesawat, harusnya. Tapi kutanyakan sekali lagi, sejauh ini apa pernah sesuai prediksi?

Pukul 13.04, pesan yang sedikit lagi berjamur jika tidak kunjung dibalas akhirnya menemukan ulamnya. Tidak, jangan bersenang hati dulu, karena ini adalah awal dari drama tragedi. Seusai membaca pesan dari Pak Bos terhormat, tanpa ba bi bu, kutinggalkan koper pasaran milikku di kursi tunggu. Lalu, berbekal tampang tidak manusiawi aku pun melesat tanpa arah.

Du du du du du, seperti ini rasanya bebas dari belenggu, gumamku dalam hati. Andai aku ibu peri, akan ku ubah dia jadi gigi kelinci—tahan dulu, tahan. Berhubung waktunya makan siang dan jiwa raga ku hampir tak sanggup lagi menerima kenyataan, ku pikir makan sesuap nasi bisa mencegah gejala kelainan mentalku semakin parah semenjak bertemu atasan seperti beliau. Jadi tentu aku tidak akan ke pos keamanan, lalu mengatakan Bosku sebagai buronan 'kan?! Ya, mana berani aku melakukannya—lapor jangan?—lebih baik jalan santai menyusuri bandara selepas makan besar sambil memegang es krim dan sesekali mendapat lirikan tajam, karena kehadiranku meresahkan?

Selesai dengan upaya menenangkan diri, ku putuskan untuk kembali ke kursi tunggu tadi. Kaaan...lucu sekali hari ini, koperku hilang! Tidak cukup pesan darinya yang mengatakan bahwa penerbanganku dijadwalkan ulang, sekarang aku harus menerima jika nasibku tidak seindah teman-teman seangkatan. Aku lelah terus mengutuk, tapi akan tetap ku tambahkan sekalian kritikan, umpatan, atau perlu hardikan dengan sumpah serapah untuk siapapun yang menjadi dalang penderitaanku.

Maaf Bos, saya sama sekali tidak mengatakan itu anda. Tapi, jika sekiranya mulai malam ini tidur anda tidak tenang, tolong jangan salahkan saya.

"Lain kali barangnya jangan ditinggal lagi ya Mbak. Atau kalau memang mendesak, bisa dititipkan dulu ke sana." Tunjuk pemuda tegap ke arah tempat penitipan barang di sebelah kiri dari posisi kami.

Bah! Dikiranya aku tidak tahu? Situ bukan yang tidak tahu kalau aku adiknya Bangtan Seonyandan.

Walaupun tidak nyambung sama sekali tapi mengertilah, aku sedang gengsi. Alias, menahan malu karena ternyata salah barisan bangku. Sudahlah datang membuat petugas panik, masih juga ngotot bilang kalau tadi koperku beneran raib. Duh, reputasiku dipertaruhkan! Namun pucuk dicinta, siapa sangka koperku sudah ditunggangi dua tuyul identik yang menjaga.

Ingin sekali mengusir mereka agar turun dan menyingkir. Tapi lansia disamping yang aku pikir adalah nenek mereka, sedari tadi memandangku waspada. Langsung saja aku hampiri dua bocil itu dengan tampang ramah diada-ada.

"Hayyo...kemarikan, mau main kereta-keretaan?" Kataku sumringah.

Introvert ini berhasil meluluhkan kembara kembar nakal itu, sungguh prestasi yang membanggakan. Belum berakhir, keakraban kami berlanjut hingga ke "Pade Zaman Dahulu" tentang kancil dan buaya—e-eh Nek, lihatnya biasa aja ya. Membangongkannya, tepat setelah gelakan tawa si dua kembar mereda hasil dari aku memeragakan 1+1 = 2-nya buaya dalam cerita, salah satu bocah yang paling aktif bersuara.

"Tante, aku pipis." Katanya enteng di atas koperku.

Bagaimana?

Tante, aku pipis.

Aku pipis.

Pipis.

P-I-P-I-S?!

Ya, lalu kalau diterjemahkan menjadi,
Tante (Aku), Aku (salah satu bocah) pipis (buang air kecil) di atas koper (barang kepunyaanku).

Aku tersenyum getir sebelum menjawab "tidak apa-apa", kemudian mengantar kepergian mereka dengan lambaian semangat. Tidak berselang lama aku merasa takut, jangan-jangan aku memang ibu peri. Lah? Iya jangan-jangan.

Selanjutnya ada yang bisa memberi tahu ku, di kotak warna apa koper dengan ekstra cairan ekskresi harus dimasukkan? Merah?! Kuning?! Hijau?! atau Hitam?! Tolong, katakanlah saja!

Pemandangan lalu lalang orang, entah mengapa semakin lama terasa semakin menyesakkan. Mana mungkin aku serius membuang koper yang isinya baju setengah baru dan beberapa mie instan kaya rasa. Puas dengan perasaan muak begitupun matahari tak menampakkan wujudnya lagi, ku rogoh gawai di tas sandang lalu menelpon orang di seberang.

"Uwak, aku ke sana ya. Habis kena tipu."

Jal-saeng-gin-nimTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang