3/11/24

214 91 135
                                    

\ play the mulmed for a better experience, tapi kalo mumet , jaangaan \

\ play the mulmed for a better experience, tapi kalo mumet , jaangaan \

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Duri, March 2024

Di bibir pantai yang dinaungi langit berhias bintang bertaburan, aku tengah memandangi keajaiban Tuhan paling menakjubkan. Pria itu terlihat sibuk menambahkan kayu bakar untuk perapian. Sudah pasti dia tidak sadar ketampanannya terpancar berlebihan saat api menyala terang. Mengikuti kata hatiku untuk menyentuh sisi kiri wajahnya, tanganku harus berakhir menggantung garing di udara.

"Mah, bawa sini ikannya." kata Lee Know masih asik dengan api unggunnya.

"Papah kan tadi mancing nggak dapat ikan." jawabku heran setelah menurunkan tanganku yang malang.

"Oh iya, lupa. Hehehe..." balasnya kemudian.

Aku dalam diam yang penuh kekaguman mengamati setiap pergerakan pria tampan di depan. Setelah merasa puas dengan hasil karyanya, Lee Know akhirnya kembali menyejajarkan posisi duduknya denganku. Telapak tangan yang baru saja ia seka dengan bagian ujung celana pendeknya itu, memberikan kehangatan pada jemariku yang mungil di genggamannya. Ia menoleh padaku dengan senyuman seindah hamparan berlian. Netraku jelas membingkai wajahnya yang begitu dekat. Tiba-tiba saja-

"KEBAKARAAAN!" teriaknya tepat di depan wajah ku.

Mataku melotot nyalang, "KURANG AJAR! MAJU SINI LO SEKARANG!!!"

Suara sirine kembali berputar. Nafas kasar kuhembuskan saat meraih hpku yang bergetar dan menggelegar. Jika aku boleh memberi saran, kurang-kurangilah menggemari hal yang tidak sesuai umur dan kalangan. Begini akibatnya jika menonton Upin-Ipin episode pemadam kebakaran tanpa pengawasan. Saking sukanya, alarm pun ku setel dengan suara lori bomba. Seru memang kemarin-kemarin saat bangun pagi aku jadi semangat, tapi-sial, sial, sial. Kalau seperti ini, judulnya malah berganti dari "Kisah Cintaku Terajut di Tepi Pantai" menjadi "Kisah Cintaku Terhalang Petugas Damkar". Lucu, begitu?

Yang lebih sialnya lagi, tadi itu kan sudah di alam mimpi ya, dan sudahlah di alam yang tidak nyata, adegan kami cuma sebatas pegangan tangan?-ini serius aku diginiin? Bejirlah kata gue teh.

Berusaha mengikhlaskan kejadian barusan, aku segera beranjak untuk membenahi kasur. Sejak mendapatkan pengalaman mendebarkan bersama Bapak Lee Minho alias Lee Know, aku bertekad bulat menerapkan 'meskipun aslinya brutal, hidupku harus frugal'. Jadi setelah membanting hpku ke atas ranjang yang sudah rapi, langsung saja kubersihkan seisi kamar dan teras kosan sepenuh hati hingga pria tampan itu datang pagi ini membawa seplastik bubur ayam rasa sapi, tapi bohong.

Sebenarnya saat ini aku sedang duduk di bangku pekarangan usai menyelesaikan pekerjaan tahap satu untuk menjadi perempuan produktif abad ini. Cuacanya sangat bagus sehingga meskipun sudah semakin siang, hari tidak terasa terik. Bunga-bunga yang dibawa pemilik kos beberapa bulan yang lalu pun sudah mulai bermekaran. Hal itulah yang memicuku berlarian ke kamar untuk mengambil hp lalu menjepret sana-sini seperti orang kesetanan.

Penghuni lain tidak akan ada yang peduli. Dari lima pintu kamar khusus putri, sepertinya hanya aku yang terdeteksi pengangguran. Biasanya jika tidak ada kuliah di jam-jam segini, mereka lebih memilih tidur sebelum kelas di waktu yang akan datang. Anggaplah memang ada yang tidak sengaja memergokiku dari balik jendela, paling-paling mereka hanya akan menyapaku dengan segan saat berpapasan. Siapa sih penghuni yang tidak tahu kalau aku ini veteran? lagian itu tidak seperti aku baru saja terciduk mencuri jemuran orang, jadi aku tidak perlu malu, bukan?

Mengangkat panggilan yang menginterupsi, senyumanku terbit sangat cerah saat mendengar suara orang dari seberang. Sambil menjawab sapaannya, sebelah kakiku dengan santai naik ke bangku untuk menopang tangan kananku yang memegang gawai.

"Yaaa...hallo?"

"..."

"Oh, begitu."

"..."

"Iya, gapapa."

"..."

"Istirahat yang cukup, Bos. GWS."

"..."

Kujauhkan benda persegi itu dari telinga, lalu melipat kaki kiriku di atas bangku untuk menahan tangan kiri yang menopang dagu. Aku terdiam lesu persis kakek-kakek terlilit hutang yang pernah kulihat di warung tuak Nang Tulang. Bergidik ngeri ketika membayangkan jikalau uang selembar biru itu tidak akan bertahan sampai masa setoran berikutnya. Tidak ada sesi mengutuk hari ini, empatiku masih bersedia saat mengetahui beliau sakit. Tapi tetap saja aku takut Om-Om banyak tingkah itu kembali berulah dan mengingkari janjinya sepulang kami dari Korea, untuk menyicil gajiku 250k per dua minggu. Tentu saja aku masih trauma. Pasalnya beliau itu pernah menghilang selama berbulan-bulan dan membiarkan aku kelaparan.

Bos bosok! Aku prihatin dengan kondisimu, tapi sorry ye aku lebih kasihan pada diriku!

Sekarang perutku keroncongan dan aku memilih pergi ke warung Bude di persimpangan. Bumbu racik nasi goreng, kupersiapkan sebagai amunisi untuk beberapa hari kedepan. Aku begini sebab harus menghemat pengeluaran daripada menyetok bawang dan cabai yang harganya melonjak ingin mengajak perang. Melewati jalan yang sama untuk mencapai kosan, aku kembali melihat seseorang yang terus mondar-mandir seperti habis dikejar rentenir.

Aku berjalan cepat lurus kedepan berlagak akan ketingggalan pesawat jika berhenti barang sejenak. Tapi lagi-lagi ternyata dewi fortuna enggan berpihak padaku.

"Dek!" Panggil orang itu.

"Eh, Om Pi. Lagi ngapain Om?" jawabku.

"Sini dulu Kau."

Diliputi perasaan tidak enak, aku pun menghampirinya. "Kenapa Om?"

"Kau jagakan tempatku dulu ya, udah di ujung kali ini."

Tanpa repot menunggu responku, pria itu melaju bak berkendara di sirkuit motogp. Ku pandangi toko kecilnya Om Pi, nama panggilan untuk pria berkulit sawo matang pemilik toko foto kopi. Perutku dari tadi meminta makan tapi aku harus terjebak di sini entah untuk berapa jam. Lalu apa? lalu datanglah remaja familiar bersama adiknya si bocil kematian yang suka mengutili barang orang jika lepas dari penglihatan.

Pelanggan terus berdatangan tanpa tahu aku bukan karyawan dan kemampuanku masih sebatas mencetak atau menjual barang dengan harga eceran. Mereka mulai tidak sabaran dan mendesak cara kerja ku yang lamban. Auman dari perutku seketika membuat orang-orang itu terdiam. Detik itu juga aku ingin berlari pulang meninggalkan pekerjaan paksa ku barusan, tapi aku takut jika kulakukan om-om bersuara besar itu akan menandangi kediamanku dan meminta ganti uang.

Harusnya aku tak di sini, kerja rodi tanpa gaji. Harusnya sudah sampai kosan dan sarapan~ Saking hectic-nya, lagu Armada pun berganti lirik dalam kepalaku. Toolooong!

Emang boleh? emang boleh sesial ini?



✧・゚* ° * ・✧

Bukannya revisi malah nonton sidang praperadilan Pegi. Maka jadilah satu cerita ini, ih apa si. Btw aku baru menghabiskan sauerkraut ku yang gagal. Doakan semoga aku selamat sampai bisa wisuda ya, Sowbat.






Jal-saeng-gin-nimTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang