Ch 5 ; He and His

271 104 18
                                    

Malam. Beberapa waktu setelah bibir Adelynn ikut mengecap rasa matcha dari bibir Gray. Tindakan pria itu benar-benar di luar dugaan. Tapi, Gray tidak menyesal. Dia melakukannya atas kehendaknya sendiri, setelah merasa Adelynn mulai berani membela Lucius. Gray tidak suka. Gray merasa dirinya lebih berhak mencium Adelynn ketimbang Lucius. Dia lebih dulu mengenal Adelynn dan lebih banyak menghabiskan waktu bersamanya semasa dulu. Gray juga merasa lebih tahu bagaimana cara memperlakukan Adelynn. Hingga dia pun merasa, hanya dirinya yang pantas dalam hal apapun terkait gadis itu.

Gray memejamkan mata dan menyamankan diri di kursi lounger, membiarkan hawa dingin menyentuh kulitnya. Benaknya terasa penuh dan hampir tak bisa memilih hal mana yang sebaiknya diabaikan. Tapi, sesuatu yang jelas ingin dia lupakan adalah ucapan Adelynn setelah mereka berciuman.

Padahal, Gray tidak serius saat berkata gadis itu payah. Namun, hal itu membuat Adelynn malu dan menyerang balik pria itu dengan berkata, "Aku tidak payah. Aku bisa berciuman dengan baik. Buktinya, Lucius dan aku sering melakukannya."

Sialan! Sudah beberapa waktu berlalu, namun Gray masih saja kesal setengah mati. Tangan kirinya yang menutupi dahi kini mengepal kuat. Giginya bergemeretak dan alisnya menukik sempurna. Dia pun mendengkus beberapa kali; berusaha mengatur emosi.

Jika waktu bisa diulang, Gray pasti akan langsung mendepak Adelynn keluar dari mobil begitu gadis itu selesai bicara. Sayangnya, dia masih bisa bersikap baik dan menurunkan gadis itu di depan rumah. Tapi, Gray bergegas pulang setelahnya, meninggalkan Lily di rumah itu sehingga Mattew yang harus menjemputnya.

Jika saja dulu, Gray tidak membiarkan emosi membawanya pergi dan berpisah secara baik-baik, keadaan tidak akan menjadi seperti ini. Tidak akan membuatnya seolah kembali ke garis awal sendirian.

Lily menghela napas memerhatikan Gray yang sibuk menyendiri di kursi lounger dekat kolam renang. Padahal, Lily merasa cuaca di luar cukup dingin, hingga dia memutuskan untuk memakai hoodie biru tebal—milik Gray—di atas piyama satin putih miliknya. Sementara, melihat Gray yang hanya mengenakan kaus hitam tanpa lengan dan celana abu-abu pendek membuat Lily khawatir.

 Sementara, melihat Gray yang hanya mengenakan kaus hitam tanpa lengan dan celana abu-abu pendek membuat Lily khawatir

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Ada apa?" tanya Bibi Rue yang sekilas menangkap sendu di wajah Lily. Mereka sedang berada di dapur menyiapkan makan malam.

"Aku tidak tahu harus berbuat apa lagi padanya," ujar Lily. "Kupikir, membawanya ke sini akan membuatnya lebih bersemangat—dan siapa tahu, sikapnya juga menjadi lebih ramah padaku. Tapi, sepertinya anak itu memang tidak berniat memaafkanku."

Bibi Rue tersenyum sipit. Wanita yang kini sudah beruban itu mengelap piring hitam polos sambil berkata, "Kau harus tahu, Gray sudah lama memaafkanmu. Tapi, dia memang masih butuh waktu untuk benar-benar menerimamu."

Lily mengernyit sebab pernyataan itu dan rasa asam dari jus lemon yang dia cicipi. "Setelah waktu yang sudah kami lewati selama ini, apakah itu belum cukup?"

Bibi Rue mengedikkan bahu. "Mungkin saja. Dan itu artinya, kau harus terus mendampinginya. Agar kalian bisa lebih memahami satu sama lain," katanya, mengangkat piring saji yang sudah berisi puding labu oranye dan membawanya ke meja makan.

Play PretendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang