Dasar Lucius.
Adelynn tahu Lucius merasa tidak terima dengan perlakuan Gray padanya. Tapi, dia tidak terlalu suka dengan tindakan impulsif yang Lucius pilih sebagai balasan. Itu terlalu blak-blakan dan mungkin saja akan menjadi bahan perbincangan selama piknik berlangsung. Adelynn tidak mau. Dia malu. Karena itu, berdalih mengobati luka Lucius, Adelynn bertahan di mobil dengan pria itu selama beberapa saat.
Ada kotak obat yang diambilnya dari campervan dan dia bawa ke mobil Lucius. Pria itu bersandar di kursi dengan mata terpejam ketika Adelynn mengoleskan salep obat. Memar di pelipis yang semula merah, telah berubah menjadi sedikit keunguan sekarang.
"Mungkin butuh waktu sekitar dua sampai tiga hari sampai lebamnya pudar," kata Adelynn.
Lucius tersenyum. "Aku tahu. Luka seperti ini biasa terjadi saat bekerja," katanya.
Adelynn lalu menarik kembali tangannya dan membersihkannya dengan tisu. Dia menatapi wajah Lucius dan timbul perasaan khawatir melihat pria itu terluka. Gray keterlaluan, pikirnya. Jika diingat lagi, Lucius bahkan tidak melakukan sesuatu yang buruk hingga harus menerima perlakuan seperti itu.
"Seharusnya, aku bisa menahan diri dan tidak terpengaruh olehnya. Bukankah begitu menurutmu?" Lucius membuka mata dan mengerling pada Adelynn.
Gadis itu mendengkus. "Dia berlebihan. Dan kau punya alasan untuk membalas," katanya.
"Jadi, ... kau tidak keberatan dengan tindakanku tadi?"
Hening sejenak. Kemudian Adelynn menjawab. "Yah, tadinya kupikir kau punya ide lain."
"Tidak. Menurutku, itu ide terbaik. Aku tidak akan menang jika berkelahi dengannya. Kalau kau sempat melihat reaksinya saat kita berciuman, Gray seperti ingin menerkamku tadi." Lucius menjawab dengan sedikit tawa.
Adelynn pun ikut mendesahkan senyum. Dia rasa, Gray mungkin benar-benar akan menerkam Lucius di lain kesempatan.
"Kuharap, Ibumu tidak masalah dengan hal itu." Lucius menambahkan.
"Ciuman?" tanya Adelynn. Lucius mengangguk. "Umurku sudah legal untuk melakukannya," imbuh Adelynn santai.
"Kau benar. Dan, ... apakah umurmu juga sudah siap dibawa ke pernikahan?"
Hah? Adelynn terhenyak. Matanya tampak melebar.
"Aku serius tentang: ingin melamarmu, meski bukan seperti ini situasi dan kondisi yang kuharapkan saat mengatakannya."
Butuh waktu bagi Adelynn untuk menjawab. Itu bukan pertanyaan yang mengandung candaan yang bisa dialihkan dengan mudah. Pria itu serius. Terlihat dari tatapan matanya dan sapuan lembut jemari Lucius di pipi Adelynn.
"Kau mungkin belum memikirkannya, karena merasa hubungan kita baru sebentar. Tapi, kupikir beberapa hal akan terasa lebih baik saat kita sudah menikah. Setuju?"
Hening. Adelynn belum mampu merespons. Sejujurnya, dia punya pendapat sendiri tentang pernikahan. Beberapa hal mungkin memang terlihat indah usai menikah, namun, pasti banyak hal baru yang sudah menanti. Juga, ada hal lain—banyak sebenarnya, yang perlu dibahas sebelum kata bersedia itu terucap. Adelynn menunduk, meremas ujung kaus putih gombrong yang dia pakai.
"Bagaimana?" tanya Lucius lagi. Dan melihat Adelynn hanya menanggapi dengan senyum kecil, membuat pria itu sedikit kecewa. "Kau, tidak suka aku membahasnya sekarang, ya?"
Adelynn mendongak, kikuk. "T-tidak. Bukan begitu. Hanya saja ..."
Mungkin ada waktu yang lebih baik untuk membicarakannya. Nanti. Lain waktu.
"Hanya saja, kau kelihatan tidak tertarik. Baiklah. Aku mengerti," ucap Lucius, seolah membaca apa yang tersirat di wajah Adelynn.
Gadis itu menjadi tidak enak hati. Tapi, topik pernikahan memang terlalu mendadak baginya—saat ini. Adelynn pun mencoba mengalihkan perhatian Lucius dengan bertanya mengenai perjalanan bisnis—pura-pura—yang dilakukan pria itu.