Ch 10 ; Theirs

172 101 45
                                    

Mungkin, seperti itu memang lebih baik. Gray pergi, sementara Adelynn tetap bersama Lucius. Menjadikan gadis itu bagian dari masa lalu dan membiarkannya berjalan dengan kisah yang baru. Terdengar bijak, dari pada mengakui bahwa cinta telah berhasil menjadikannya budak. Beberapa ciri manusia sukses adalah; tidak mudah diperdaya, mempertahankan hal-hal yang bermanfaat bagi hidup mereka dan berani mengambil risiko. Menurut siapa?

Nyatanya, gagasan untuk tetap berusaha mendapatkan Adelynn—dengan cara apapun—terdengar lebih masuk akal, sama-sama berisiko dan Gray akan merasa sukses saat gadis itu berhasil menjadi miliknya lagi. Dan, mengirim pesan yang terkesan bahwa ia telah menyerah adalah bagian dari sebuah rencana. Gadis-gadis suka dengan permainan tarik-ulur, bukan?—tidak semua, memang. Namun, Gray banyak melihat cara itu berhasil digunakan dalam hubungan rekan artisnya.

Jika memang Adelynn tidak bisa ditarik paksa, maka Gray akan membuat talinya sedikit mengendur. Risikonya, Gray benar-benar harus melepaskan Adelynn, bila gadis itu sama sekali tidak terpengaruh oleh pesan terakhir yang ia kirim.

Nyatanya, pesan itu lumayan berhasil menyulut gundah. Bahkan, tanpa disadari Adelynn bisa mengingat setiap kalimatnya. Dan, alih-alih menantikan kabar dari Lucius—yang seolah menghilang—pesan dari Gray bekerja seperti racun, yang mengkontaminasi pikirannya untuk memberikan atensi lebih terhadap pria itu.

"Kurasa, dia sengaja melakukannya," tukas Stella, yang sudah sempat membaca pesan itu.

Adelynn meruncingkan alisnya. "Sungguh? Kau pikir begitu?"

"U-hum. Sekadar untuk mengujimu, mungkin." Stella menjawab seraya memasukkan kaleng-kaleng soda ke kulkas showcase. "Aku juga sering, sengaja mengirim pesan seperti itu pada Max. Hanya untuk memastikan. apakah dia masih peduli padaku atau tidak. Dan biasanya, dia akan langsung menemuiku."

"Benarkah?" tanggap Adelynn dengan tangan yang sibuk merapikan uang di mesin kasir. "Lalu, apa yang Max katakan saat kalian bertemu?"

"Tidak ada." Stella tersenyum mengingatnya. "Dia hanya akan duduk diam dan menyerahkan diri padaku." Gelak tawa menyusul ucapannya.

Adelynn mengerling jengah. Cukup lama ia mengenal Stella dan bagaimana hubungan gadis itu dengan seorang pria. Mudah bagi Adelnn menangkap maksud dari kata menyerahkan diri. Dan tentu saja, Adelynn tidak mungkin melakukan hal yang sama seperti Max untuk merespons pesan Gray. Sekali lagi, hatinya merasa bimbang. "Menurutmu, aku harus bagaimana, Ell?"

Bahu Stella berkedik. "Itu terserah padamu. Kau boleh membalas pesan itu jika kau mau," katanya santai. "Tapi, jika aku jadi kau, pilihan terbaik adalah mengikuti permainannya."

"Permainan?"

"Yap!"

Adelynn terlihat bingung dan menegaskan bahwa pengalaman cintanya memang seminim itu. Ia memasukkan gepok uang terakhir ke mesin kasir dan menguncinya. "Memang, permainan macam apa yang sedang dia mainkan?"

Stella tersenyum kucing. "Itu dinamakan Tarik dan Ulur. Seperti pertandingan tali tambang," terangnya, seraya berdiri dari posisi berjongkok dan menutup kulkas showcase. "Gray pasti berpikir, pesan itu bisa membuatmu peduli padanya—I bet you did, care! So, here is the plan. Abaikan saja pesan itu dan jangan sampai dia berhasil memengaruhimu. Kita akan lihat, apakah Gray benar-benar bisa menepati ucapannya atau tidak nanti."

Yah, selama Adelynn memiliki Stella di sampingnya—seseorang yang sudah melalang buana di dunia asmara, rasanya apa pun yang Gray pikirkan tidak akan berakhir sesuai rencana. Sedikit sesuai, sebenarnya. Karena Adelynn memang memikirkan pesan itu selama beberapa waktu. Namun, keramaian pengunjung Pilgrim hari itu cukup membantunya teralih. Pun, mengurangi jatahnya memikirkan Gray—bukan Lucius.

Play PretendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang