YBTM (3)

4.8K 566 123
                                    

"Untuk pelajaran hari ini, apa ada yang ingin bertanya?"

Guru wanita di atas podium menutup spidolnya sebelum mendongak dengan pandangan yang beredar ke penjuru kelas. Sangat baik, semua muridnya patuh menatap ke arahnya, tidak ada yang bersikap melenceng—misalnya tidur atau asyik mengobrol.

"Baik, karena tidak ada yang ingin bertanya, saya akan meninggalkan tugas kelompok. Kalian ada 24 orang, tolong bentuk kelompok berdasarkan urutan absen dengan anggota setiap kelompok berisikan tiga orang. Tugas yang dikerjakan di buku halaman 112 hingga 115. Minggu depan saya akan terima hasil dari 8 kelompok. Sekian materi hari ini, terima kasih."

Usai sosok guru itu melenggang keluar dari kelas, semua orang di dalam sontak merenggangkan tubuh yang kaku setelah hampir dua jam terkurung bersama guru yang terkenal tegas dan galak tersebut.

Masing-masing dari mereka membentuk circle tersendiri, saling bercengkrama, menemukan teman sekelompok mereka sesuai nomor absen. Sementara Aya masih duduk di kursi, beralih mengerjakan tugas bahasa Jerman yang diberikan dari jam pertama.

Seorang gadis menghampiri Aya, duduk di kursi depan meja Aya sembari mencuri pandang buku tugas Aya. "Anaya, kita sekelompok."

Aya berhenti menulis, perlahan mendongakkan kepala memandang gadis berambut hitam tergerai dengan poni menutupi dahinya. Tidak ada kesan tentang gadis itu dalam benak Aya. Sejak dia dipindahkan ke sekolah ini, tidak ada seorang pun gadis yang berinisiatif berteman dengannya.

Tidak ada kebencian di antara mereka, sehingga Aya melirik name tag gadis itu, sebelum menyahut dengan positif sambil melempar senyum. "Mohon kerja samanya, Edita."

Edita membalas senyum Aya. Teringat sesuatu, dia melipat kedua tangannya di atas meja, mencondongkan tubuh ke arah Aya dengan gerak-gerik seolah akan berbagi informasi rahasia. "Anaya, lo tau hal yang lebih penting selain kita berdua sekelompok?"

Sontak saja Aya menggeleng sebagai tanggapan.

Edita mendecak lembut, lalu kembali berbicara dengan rona di pipi yang perlahan timbul. "Kita satu kelompok sama Gara."

Saat menyebut nama Gara, suara Edita sangat lembut, mengandung kasih sayang tak tersembunyikan dari Aya.

Aya menaikkan satu alis, tanpa sadar menoleh ke tempat duduk Gara. Cowok itu duduk bersandar pada kursi, dengan satu tangan memegang buku yang dia sandarkan pada pinggir mejanya. Dari posisinya, Aya bisa melihat garis rahang tegas cowok itu, bagaimana tinggi hidungnya, hingga rambut hitam legamnya yang terlihat lembut dibasuh oleh cahaya matahari dari jendela di sampingnya.

"Anaya."

Suara Edita menarik Aya dari tenggelamnya pikiran dia akan visual Gara. Aya kembali mengarahkan pandangan pada Edita, menatapnya linglung seolah belum sadar dari pikirannya.

Edita mengerjap, melirik Gara sekilas sebelum menatap Aya penasaran. "Lo deket sama Gara?"

Pertanyaan Edita memberi pukulan keras pada Aya. Seolah ada alarm berbunyi, Aya menatap ekspresi Edita saksama. Tiba-tiba melayangkan pertanyaan itu, tentu dia harus bersiaga.

"Gak." Aya menggeleng tegas, memberi jawaban yang mungkin tidak akan dipercaya. "Gara cuma sesekali bantu gue di saat terdesak."

"Oh, gitu."

Sebuah reaksi yang tak terduga dari Edita membuat Aya menatapnya lebih cermat. Dia melihat Edita berpikir sejenak dan mengembangkan senyuman ceria, tidak ada kecemburuan atau kecurigaan apapun di dalamnya.

"Emang hal terdesak apa yang bikin Gara bantu lo?"

Aya pikir kalimat itu akan kembali diutarakan Edita, namun gadis itu malah membuang muka, memandang buku Aya di atas meja dan mengalihkan topik pembicaraan, "Lo lagi ngerjain tugas bajer? Rajin banget."

Can't Take My Eyes Off You Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang