Selama menjalani masa skors, Aya menjadi jauh lebih tenang. Selain melakukan pekerjaan rumah, dia lebih banyak mengurung diri di dalam kamar untuk belajar. Sebentar lagi ujian akhir semester satu akan dilaksanakan, dan semester depan merupakan akhir dari masa SMA-nya. Untuk melanjutkan pendidikan, yang bisa Aya lakukan adalah belajar dengan giat demi memperoleh beasiswa.
Sejak dua jam lalu, gadis itu sibuk berkutat di meja belajar. Rambut panjang yang biasa tergerai kini tercepol asal. Di atas meja, lampu belajar menerangi meja yang berisi buku paket, LKS, serta kertas-kertas buram yang telah penuh dengan perhitungan rumus.
Aya menggaruk kepalanya yang tak gatal. Belajar tanpa jeda membuatnya pusing. Dia menghela nafas, punggungnya bersandar pada kursi sambil mendongak memandang langit-langit ruang. Sejemang, dia diam tak berkutik. Setelah beberapa menit dengan posisi yang sama, rasa sakit di tengkuk membuatnya bergerak menegakkan tubuh.
Tangannya menggapai pensil, siap melanjutkan kegiatan belajar jika saja ponsel di sudut meja tidak bergetar. Kening Aya berkerut samar sembari menoleh, mendapati layar benda pipih itu menampilkan panggilan masuk dari nomor tak dikenal.
Tiba-tiba sekelebat pemikiran melintas, membuat Aya memandang nomor asing itu penuh antisipasi lalu meraih ponselnya. Entah kenapa ponsel yang biasanya terasa normal sekarang menjadi benda paling tidak nyaman dia pegang.
Aya berdeham, menyugar rambutnya ke belakang sebelum menyadari bahwa penampilannya sangat berantakan sekarang. Dia mengerang pelan, buru-buru melepas jepitan yang mencepol kumpulan rambutnya lalu jemarinya segera menyisir helaian lembut itu.
Semua pergerakan itu dia lakukan dengan cepat, hingga dia sendiri mematung begitu menyadari sesuatu. Kenapa dia begitu excited?
Bibirnya mengerut, jemari yang masih tersumbat di antara rambutnya pun perlahan dia tarik turun. Memandang panggilan masuk yang masih berlangsung, dengan ragu dia menerimanya.
Hening sejenak. Baik Aya maupun pihak seberang yang menelpon belum maju menjadi pihak pertama yang bersuara. Getaran lanjutan dari ponsel diiringi layar yang menampilkan panggilan dialihkan ke video call muncul.
"Angkat, Aya."
Suara rendah itu mengalun kemudian dari speakernya, menyadarkan Aya dari lamunan. Dia menggeser layar menerima video call, yang segera disambut oleh sosok berpiyama hitam. Rambut pendek yang biasanya tertata rapi itu terlihat lembap menutupi kening. Di bawah cahaya remang-remang ruangan, cowok itu bersandar pada punggung kursi dengan wajah diterangi oleh cahaya layar.
Mata tajam cowok itu terarah lurus padanya. Bahkan jika mereka saling bertatapan melalui media, Aya masih bisa merasakan sorot intens dari iris hitam yang memandangnya bak sebuah mangsa.
"Lo gak bisa tidur lagi?" Aya menghancurkan keheningan tersebut dengan pertanyaan basa-basi sembari melirik jam dinding di kamarnya-bukan hanya demi mengetahui jam berapa sekarang, melainkan juga memaksa dirinya tak lagi menghargai visual cowok di layar ponselnya. "Baru setengah sepuluh,sih."
"Lo sendiri belum tidur?" Suara rendah cowok itu mengalun. Dari layar, Aya bisa melihatnya menyandarkan ponsel ke sesuatu sehingga kini setengah tubuh Gara terekspos. Aya juga jadi tahu bahwa Gara sedang berada di kamar, terlihat dari kasur besar berseprei hitam di belakangnya.
Aya ikut menyandarkan ponselnya ke tumpukan buku di sudut meja. "Gue masih belajar."
Dari pemandangan yang tertangkap kamera, meja berhamburan kertas terlihat jelas. Mata Gara tidak fokus lagi memperhatikan grafik rumit di komputernya, melainkan pada kecantikan berantakan yang memenuhi layar ponselnya. Surai lurus gadis itu tergerai awut-awutan, kulit wajah polos tanpa sentuhan apapun dengan kaos merah muda yang menambah pesona kelembutan, membuat Gara sulit berpangling.
KAMU SEDANG MEMBACA
Can't Take My Eyes Off You
RomanceKejadian aneh menimpa Aya. Hidupnya yang damai perlahan mulai berubah dengan kebingungan menyertai. Namun semua itu tak luput dari kehadiran seorang pria, Gara. Kehadiran tanpa absen Gara bukan hanya memberi kenyamanan untuk Aya, namun juga kebingun...