"Putri anda terlihat sangat cantik dan sopan."
"Hahaha, terima kasih Pak Elderis. Memang harus saya akui, tidak hanya parasnya saja yang bisa dibanggakan, tetapi juga prestasinya. Selain di bidang akademis, putri saya juga punya nama di dunia modelling."
Pria paruh baya itu mengelus kepala gadis di sebelahnya penuh kasih sayang, membuat gadis yang sejak tadi melirik sosok di hadapannya jadi terkesiap.
"Ayah, jangan berlebihan. Aku gak sehebat itu." Diana tersipu sembari melirik kembali sosok yang sejak tadi mengambil atensinya.
Kesabarannya sudah sangat terkuras karena perintah sang papi yang mengatakan dirinya harus lebih bersabar dan serahkan masalah ini kepada sang papi. Tetapi dia tidak menyangka rencana sang papi memakan waktu bertahun-tahun!
Tetapi semuanya sepadan dengan lamanya waktu yang terbuang. Sudah hampir tiga tahun tidak melihatnya, Diana merasa laki-laki itu semakin memesona. Jika dulu Gara terlihat acuh tak acuh dan dingin, maka sekarang pembawaannya lebih tenang dan dewasa.
Diana tidak pernah melihat laki-laki seumuran mereka yang pembawaannya seperti Gara. Gerak-geriknya teratur dan tidak menonjol, penuh kesopanan serta memberi perasaan menindas setiap kali mata Gara tertuju padanya. Diana suka perasaan itu. Semakin sulit digapai maka semakin menyenangkan untuk ditaklukan.
Mata gadis itu mau tidak mau menilik penampilan Gara. Wajahnya terlihat lebih tegas, rambutnya tertata rapi menyamping, setelan jas hitam, serta tubuhnya lebih tinggi dan besar dibanding terakhir kali dia melihatnya. Suara Gara pun lebih berat dan rendah, mengalun indah setiap kali dia mengeluarkan beberapa patah kata.
Siang ini, mereka makan bersama di salah satu restoran hotel berbintang. Selama duduk bersama dalam satu meja yang telah direservasi, Diana tidak bisa menarik matanya dari Gara.
Elderis, pria yang duduk di sebelah Gara, meletakkan sendok dan garpunya. Dia melirik dua anak muda itu bergantian dengan senyum kecil terbit di bibirnya.
"Gadis yang cantik, kan, Gara?" tanyanya memancing laki-laki yang sejak tadi diam itu untuk bersuara. Dia tahu saat ini Gara pasti kesal karena dia membohonginya datang dengan alasan pertemuan dengan klien. Meski tidak ada raut apapun di wajah Gara, sebagai orang yang telah membesarkannya hampir sepuluh tahun lamanya, tentu dia tahu kepribadian sang anak.
Gara meletakkan sendok dan garpunya, menghasilkan benturan pelan pada piring. Dia menggunakan kain tersedia untuk mengelap bibirnya sebelum mengangkat pandangan, lurus kepada Diana yang menatapnya penuh antisipasi akan harapan.
"Ya."
Satu kata berjuta makna untuk Diana. Hatinya berdebar kencang, matanya melebar dan sudut bibirnya tanpa sadar terangkat tinggi. Dia merasa perutnya memiliki ribuan kupu-kupu berterbangan. Bahkan tanpa sadar, gadis itu meraih tangan sang papi dari bawah meja, menggenggamnya erat untuk menunjukkan betapa bersemangatnya dia atas pujian kecil itu.
Kedua pria paruh baya itu tertawa melihat interaksi mereka. Pria di samping Diana, Dihar, menepuk tangan sang putri lembut, berusaha menenangkan.
"Sejak SMA, Diana sudah mulai belajar memasak. Makanan yang dibuatnya sangat enak, seperti koki bintang lima." Tak sungkan, Dihar terus memuji sang putri di hadapan Gara dan Elderis.
"Papi!" Diana berseru malu, wajahnya memerah seperti kepiting rebus, mau tak mau kembali melirik Gara yang menatapnya dalam diam, berhasil membuat pipinya semakin terasa terbakar.
"Benarkah?" Elderis menaikkan alis terkejut. "Sangat jarang bertemu gadis dalam lingkaran keluarga berada mau berkutat di dapur. Anda pasti sangat bangga, Pak Dihar."
KAMU SEDANG MEMBACA
Can't Take My Eyes Off You
RomanceKejadian aneh menimpa Aya. Hidupnya yang damai perlahan mulai berubah dengan kebingungan menyertai. Namun semua itu tak luput dari kehadiran seorang pria, Gara. Kehadiran tanpa absen Gara bukan hanya memberi kenyamanan untuk Aya, namun juga kebingun...