"Anaya, percepat masak!"
"Iyaaa."
Aya menghela nafas, mematikan kompor sembari menuang masakannya ke mangkuk. Dia melepaskan celemek, membawa mangkuk itu menuju meja makan, sebelum tatapannya terpatri pada sosok yang memandangnya lekat.
"Eh, Vito pulang?" tanyanya santai setelah meletakkan mangkuk itu di meja lalu duduk di kursi kosong. Meja bundar itu kini dikelilingi oleh keluarga kecil mereka. Sudah dua bulan sejak Vito pindah sekolah karena tinggal bersama kakek mereka di kota seberang. Aya sendiri tidak mengerti mengapa Vito mau pindah ke sana padahal kondisi di kota ini lebih baik.
"Vito baru balik sewaktu kamu masak. Dia bakal liburan semester di sini. Lagian hari ini malam tahun baru, gak baik Vito jauh dari rumah." Ayah Aya menjelaskan sambil menepuk kepala sang putra penuh senyuman kasih sayang.
Aya manggut-manggut, menyendok nasi ke piringnya. Tatapan dari Vito terlalu kuat, membuat Aya menoleh padanya bingung. Mendapati tatapannya dibalas, cowok itu mendengus dan membuang muka, ekspresinya muram seperti Aya memiliki hutang ratusan juta kepadanya. Aya tersenyum geli, lalu mulai fokus makan, tidak merasa aneh akan sifat Vito sebab cowok itu selalu bertingkah seenaknya.
Setelah mereka semua menghabiskan makan malam, Aya membawa piring kotor ke dapur untuk dicuci. Peralatan dapur kotor yang menumpuk menjadi hal biasa untuknya.
"Lo dari mana aja?"
Suara itu mengagetkan Aya hingga gelas di tangannya hampir terlepas dari genggaman. Dia menoleh, mendapati Vito bersandar di pintu masuk dapur dengan ekspresi suram.
"Maksud lo?"
"Waktu itu, tanggal 19 dua bulan lalu. Lo di mana dan kenapa gak pulang?"
Aya membuang muka, lanjut mencuci gelas dengan kening berkerut. "Tanggal 19? Gue lupa...."
Derap langkah terdengar dari belakang. Cengkraman kuat di pundak tiba-tiba menyerang, memaksa tubuh Aya berbalik ke belakang. Mata gadis itu melebar, terkejut, lalu sorot tajam Vito segera memenuhi visinya.
Tangan besar cowok itu memegang pundak Aya semakin erat. "Jawab! Lo harus inget!"
Kening Aya mengerut, rasa sakit di pundak membuatnya memberontak. "Vito, lepas."
"Gak, lo harus kasih gue jawaban! Asal lo tau, gue nunggu lo pulang berjam-jam sama—" Vito segera mengerem kata-katanya. Rahangnya mengeras sebelum memelototi Aya lalu berbalik pergi dengan amarah meledak.
"Dia kenapa, sih?" Aya memandang punggung remaja itu penuh kebingungan. Saat menggerakkan pundaknya, ada rasa sakit akibat cengkraman Vito tadi. Aya menggeleng-geleng, membalikkan tubuh untuk kembali mencuci piring. Mau tak mau pikirannya melayang tentang pertanyaan Vito. "Tanggal 19? Gak pulang?"
Satu-satunya hari di mana dia pulang sangat larut adalah saat berada di rumah sakit akibat insiden Diana jatuh dari tangga. Apakah itu yang dimaksud Vito?
•×ו
"Ngaku, diem-diem lo pasti mati-matian belajar di rumah, kan?" Nada menuduh Aya menggema dalam ruang kecil kamarnya. Dia bertopang dagu, memandang Gara yang duduk di balkon kamar, menikmati desiran angin malam yang berembus.
Gara terkekeh rendah. Dia mendongakkan kepala dari layar iPad, memandang gadis dalam layar ponsel dengan sorot geli. "Kalau bener, kenapa? Kalau nggak, kenapa?"
"Kalau bener, gak heran lo bisa dapet juara satu kelas dan juara satu umum sekolah!" Aya mendecak kagum karena pengumuman saat terima rapor kemarin. Dalam pandangannya, cowok pintar selalu memiliki nilai plus!
KAMU SEDANG MEMBACA
Can't Take My Eyes Off You
RomantizmKejadian aneh menimpa Aya. Hidupnya yang damai perlahan mulai berubah dengan kebingungan menyertai. Namun semua itu tak luput dari kehadiran seorang pria, Gara. Kehadiran tanpa absen Gara bukan hanya memberi kenyamanan untuk Aya, namun juga kebingun...