Bab 11 (Kejujuran)

7 3 0
                                    

Setibanya di istana, Alessio mengajak Emilia untuk menikmati hidangan istimewa. Alessio telah mempersiapkan segala sesuatunya dengan hati-hati, memastikan bahwa malam ini akan menjadi malam yang istimewa bagi mereka.

Mereka berjalan bersama melalui koridor istana yang megah, menuju ruang makan yang dihiasi dengan lilin-lilin yang memberikan suasana romantis. Di meja makan yang telah dihias indah, hidangan istimewa telah siap disajikan. Hati angsa, sebuah hidangan yang terkenal di seluruh kerajaan, ditempatkan di piring dengan sempurna. Alessio memandang Emilia dengan senyuman hangat saat mereka duduk berhadap-hadapan.

“Hati angsa bernama valgra adalah salah satu hidangan favoritku,” kata Alessio dengan suara lembut. “Aku harap kau menikmatinya.”

Emilia tersenyum dan mengangguk sembari memerah pipinya, merasa terhormat atas perhatian yang diberikan oleh Alessio. Mereka mulai menikmati hidangan tersebut, mencicipi setiap gigitan dengan penuh penghargaan.

Rasa hati angsa yang lembut dan kaya membuat suasana makan malam semakin istimewa. Alessio merasa senang melihat Emilia menikmati hidangan tersebut.

Alessio menatap Emilia dengan penuh kasih. “Aku senang kau menyukai hidangan ini,” katanya dengan tulus. “Malam ini sangat istimewa bagiku, karena bisa menghabiskan waktu bersamamu.”

Emilia tersenyum lembut dan merasa bahagia atas perhatian Alessio. “Terima kasih, Alessio. Aku juga merasa malam ini sangat istimewa.”

Setelah Alessio dan Emilia menghabiskan makan malam mereka, Emilia kembali ke kamarnya. Ia berjalan melalui koridor istana dengan perasaan campur aduk. Di satu sisi, ia merasa bahagia bisa mendengar ungkapan perasaan dari Alessio, tetapi di sisi lain ia masih merasakan keraguan yang mengganggu hatinya.

Emilia duduk di dekat jendela, memandang ke arah taman istana yang indah. Malam itu begitu tenang dengan bintang-bintang yang bersinar terang di langit. Emilia merenung. Ada sesuatu yang selalu mengusik pikirannya, sesuatu yang belum pernah ia ungkapkan kepada siapa pun. Apa lagi kalau bukan tentang siapa ia sebenarnya?

Emilia tahu bahwa ini adalah saatnya ia menghadapi kenyataan, meskipun itu berarti menghadapi ketakutan dan keraguannya.

Emilia menarik napas dalam-dalam dan berusaha menenangkan pikirannya. Dengan tekad yang kuat, Emilia memutuskan untuk mengatakan semuanya. Emilia memutuskan untuk mengambil langkah yang sudah lama ia pertimbangkan.

Pagi itu, saat matahari mulai naik dan sinarnya yang lembut menyinari istana, Emilia buru-buru mencari Alessio. Ia menemukannya di barak latihan. Alessio tengah berlatih pedang seperti biasa.

“Alessio,” panggil Emilia dengan suara lembut.

Alessio berhenti sejenak, menghapus keringat dari dahinya, dan memandang Emilia dengan senyum hangat. “Ada apa, Emilia?” tanya Alessio, menyimpan pedang dan mendekatinya.

“Aku ingin mengajakmu berbicara empat mata di Danau Honesty,” jawab Emilia dengan mantap.

Alessio mengerutkan kening, sedikit terkejut dengan permintaannya. “Danau Honesty? Kenapa kita harus berbicara di sana? Apa ada hal yang begitu penting hingga kita harus berbicara empat mata di tempat itu?”

Emilia menarik napas dalam-dalam, berusaha mengumpulkan keberanian. “Ada sesuatu yang sangat penting yang perlu aku sampaikan kepadamu. Sesuatu yang sudah lama aku simpan di dalam hati. Danau Honesty adalah tempat yang tepat untuk berbicara dengan jujur, tanpa ada yang mengganggu.”

Melihat keseriusan di mata Emilia, Alessio mengangguk pelan. “Baiklah, kita akan pergi ke danau Honesty. Aku akan siap dalam beberapa menit.”

Mereka berdua bersiap-siap dan segera berangkat menuju danau Honesty. Perjalanan menuju danau itu melalui hutan yang indah dan sunyi, dengan pepohonan yang tinggi dan jalan setapak yang hanya dikenal oleh beberapa orang. Alessio dan Emilia berjalan berdampingan. Suasana hening menyelimuti mereka. Alessio bisa merasakan ada beban yang sedang dipikul oleh Emilia dan ia penasaran apa yang ingin wanita itu sampaikan.

Alessio EmiliaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang