Part 3

715 78 3
                                    

PDF ready. Harga 55rb ya

___**___

Levin menatap pelayan yang baru saja menabraknya. Pelayan itu bahkan tidak sadar baru saja mengumpat di hadapannya. Dasar tidak tahu sopan santun. Bagaimana mungkin Bi Lastri mempekerjakan pelayan yang sepertinya kurang berpengalaman seperti gadis ini.

Pelayan itu berdiri kikuk menatap Levin. Sepertinya gadis itu mengutuk mulut terkutuknya karena terus komat kamit sendiri. Levin menatap gadis itu dari atas sampai bawah, mengingat-ingat dalam hati, sepertinya wajah gadis itu tidak asing. Memang Levin pernah melihatnya sesekali saat melayaninya makan. Tapi bukan itu. Gadis itu seperti tidak asing baginya jika diperhatikan dengan seksama.

"Kenapa kau terburu-buru sampai menabrakku?" Tanya Levin datar, membuat gadis itu gelagapan dan kebingungan.

"Eeeh, anu Tuan, tadi, saya, eeeeh. Tadi saya mau cepat-cepat laporan sama Bi Lastri kalau saya sudah sampai. Dan ada panggilan telpon juga. Jadi saya terburu-buru sampai nggak lihat jalan. Maaf Tuan. Tolong jangan pecat saya."

Vanessa menunduk, ia berharap Levin akan memukulinya dari pada memecatnya. Sungguh meskipun bosnya sedikit mengerikan, gaji yang diterima Venessa setiap bulannya benar-benar lumayan.

"Kau ulangi sekali lagi, pergi dari rumahku."

Ucap Levin datar sambil meninggalkan pelayannya yang kini masih mematung seperti manekin rusak. Levin kesal sendiri melihatnya. Kenapa juga Bi Lastri mempekerjakan pelayan seceroboh itu.

Sementara Vanessa langsung menghembuskan napas lega sambil memegangi dadanya setelah Levin berlalu. Sungguh tadi ia benar-benar ketakutan setengah mati. Venessa tidak menyangka, Levin memang sangat mengerikan seperti berita yang ia dengar selama ini.

Dari suara beratnya saja, sudah membuat bulu kuduk Venessa merinding. Tatapan pria itu seolah bisa merontokkan bagian-bagian tubuh Vanessa hingga jatuh satu persatu ke tanah. Untunglah pria itu segera pergi dari hadapannya. Venessa lega ia tidak dipecat dan segera berlari ke dapur untuk laporan. Jika sampai terlambat, kepala pelayan itu pasti tidak akan segan-segan untuk memecatnya.

**

Levin berjalan angkuh menuju ruang rapatnya. Hari ini kerjasamanya dengan beberapa perusahaan tentang pembangunan hotel akan di laksanakan. Perlu pembahasan lebih lanjut agar nanti tidak terjadi kesalahpahaman setelah terjadi pembangunan.

Rafi, asistennya tampak mencatat beberapa hal-hal penting tentang jadwal rapat. Ia tidak mau di pecat karena kesalahan konyol seperti asisten sebelumnya yang lupa menulis jadwal rapat penting. Rafi harus berhati-hati agar tidak terjadi kesalahan seperti itu lagi.

Setelah sampai di ruang rapat, Levin menyapa beberapa rekan bisnisnya yang sudah menunggu. Ada Danial yang tampak kesal karena Levin terlambat lima menit. Sedangkan yang lainnya tampak tidak mempermasalahkannya.

Rapat berlangsung lancar meskipun Danial yang mewakili ayahnya beberapa kali mengajukan instruksi. Danial memang terkenal lebih teliti dan hati-hati dalam mengambil langkah melebihi ayahnya sendiri yang terhitung seorang pebisnis handal.

Sedangkan Wibowo, rekan Levin yang satunya lagi tampak antusias meskipun Levin tahu keuangan perusahaan pria itu tidak akan kuat jika bekerjasama dengan mereka. Levin memang sengaja menjebak pria rakus itu untuk mencapai tujuannya. Dan, sepertinya pria tua itu masuk ke dalam lubang yang digali olehnya tanpa sadar.

"Baiklah, rapat sudah sesuai dengan kesepakatan dari kita semua. Proyek ini akan kita mulai awal bulan. Tidak ada yang bisa mundur karena kita semua sudah menandatangani kontrak. Akan ada penalti yang cukup besar jika salah satu dari kita mundur dari proyek ini. Semoga kerjasama ini menguntungkan kita semua."

Dan mereka semua berdiri kemudian saling menjabat tangan satu sama lain. Wibowo bahkan berkali-kali berterima kasih karena dilibatkan dalam proyek ini oleh Levin. Pria tua itu tidak sadar sudah masuk ke dalam jebakannya. Danial yang melihat dan menyadari siasat Levin hanya terkekeh pelan.

Ia tidak menyangka Levin bahkan bertindak sejauh ini hanya untuk mengejar seorang wanita. Danial jadi penasaran, seperti apa wanita yang di kejar Levin hingga bertindak sampai sejauh ini.

Ruangan rapat sepi setelah kepergian para rekan bisnis Levin. Hanya tinggal Danial yang saat ini duduk bersantai sambil memutar kursi kebesaran milik Levin. Pria itu terkekeh menatap Levin yang saat ini menatapnya dengan tatapan kesal. Namun, setidaknya Levin harus berterima kasih karena Danial mau tutup mulut seputar rencananya untuk menjebak Wibowo.

"Kenapa kau tersenyum seperti itu? Kau meledekku."

Levin duduk santai di samping Danial. Meskipun laki-laki itu menyebalkan, tapi Danial tidak pernah mencampuri urusannya. Hanya saja mulut pria itu sangat menyebalkan dan tukang menyindirnya.

"Aku jadi penasaran, seperti apa wajah gadis yang kau incar itu hingga kau harus bersusah payah merancang rencana pembangunan proyek ini. Aku yakin kau tidak akan melakukan proyek ini jika Wibowo tidak masuk ke dalamnya. Prospek proyek ini memang bagus, tapi keuntungan besarnya baru akan kita rasakan setidaknya dua atau tiga tahun. Dengan keadaan keuangan perusahaan Wibowo, pria itu tidak akan kuat modalnya menunggak sebanyak itu."

"Waaaah, Danial Atmadjaya benar-benar seorang pebisnis ulung. Tadi kau hampir saja membuatku jantungan dengan mengajukan pertanyaan seputar keuntungan. Untung saja Wibowo tidak menyadarinya. Jika sampai pria tua itu menyadarinya, aku pasti akan membunuhmu."

Danial terkekeh mendengar ucapan frontal Levin. Memang sudah seperti itu Levin dalam berbicara. Danial sudah tidak heran. Dan gaya Levin yang kaku itulah yang sering ia manfaatkan untuk hiburan.

Danial heran sebenarnya. Dulu saat masih kecil Levin bukan pria kaku seperti sekarang. Pria itu ramah meskipun menyebalkan. Dan entah kenapa, tiba-tiba saja Levin berubah dan Danial tidak tahu apa alasannya. Saat Danial bertanya, pria itu hanya menjawab usia yang menyebabkannya berubah. Dan tentu saja Danial tidak percaya.

"Bagaimana keadaan mamamu, belum ada perkembangan?" Tanya Levin kemudian, mengalihkan topik pembahasan mereka seputar gadis yang disukainya. Ia tidak ingin membuka informasi pada siapapun sebelum gadis itu jatuh ke pelukannya.

"Masih tetap sama. Hari ini mama menolak makan lagi, makanya papa tidak bisa menghadiri rapat dan aku yang mewakilinya."

"Memang sulit menerima kenyataan telah kehilangan seorang anak. Mamamu pasti tersiksa selama bertahun-tahun. Apalagi jasad adikmu belum ditemukan sampai sekarang."

"Benar. Mama tetap tidak percaya bahwa Angeline sudah meninggal. Sebelum jasad adikku ditemukan, Mama tidak akan pernah percaya. Padahal aku dan papa sudah mencari jasad adikku dengan seluruh tenaga kami. Nyatanya, sampai sekarang jasad Angeline tidak pernah ditemukan."

"Kau tidak curiga kenapa saat itu mobil papamu bisa kecelakaan padahal itu mobil baru?"

"Aku dan papa sudah curiga. Tapi kami tidak menemukan bukti apa-apa karena saat itu belum banyak CCTV seperti sekarang. Papa berkata padaku jika ia mengantongi nama seseorang. Tapi karena sampai sekarang tidak ada bukti, papa memilih diam saja."

"Mata adikmu, warnanya hijau zamrud kan? Warna mata yang agak asing di negara kita."

"Ya. Warna matanya hijau zamrud, keturunan dari nenekku. Tapi jaman sekarang sudah banyak wanita yang mengenakan softlens seperti itu. Dan aku juga tidak yakin adikku masih hidup karena kecelakaan saat itu lumayan parah."

"Hmmm, kau benar."

Levin termenung sejenak. Entah dimana ia pernah melihat bola mata berwarna hijau zamrud dan wajah yang tidak asing. Tapi milik siapa, Levin lupa, yang jelas bukan milik Claudia. Pokoknya ia pernah melihatnya, tapi dimana tepatnya, Levin sudah tidak ingat lagi.

The Lost Princess ( On Going )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang