"Apa lagi syarat yang kau ajukan? Aku yakin bukan hanya itu syarat yang akan kau minta." Senyum Levin mengembang saat menatap Claudia yang kini duduk tak berdaya di hadapannya. Wanita bermata indah itu kini benar-benar sudah takhluk padanya.
"Kau belum menyetujui persyaratan pertamaku. Setelah ini jangan pernah mengganggu keluargaku lagi."
"Itu syarat yang sangat mudah. Bahkan aku akan menyuntikkan dana pada perusahaan milik papamu. Itu syarat yang sama sekali tidak sulit untuk kuwujudkan."
Claudia memejamkan matanya sejenak. Meskipun ia takut setengah mati pada laki-laki yang sebentar lagi akan menjadi suaminya itu, namun sekarang Claudia sudah tidak bisa mundur lagi. Suka tidak suka ia akan tetap menikah dengan Levin.
"Jangan pernah menyakitiku secara fisik. Meskipun aku tidak mencintaimu sama sekali, Aku tidak ingin kamu memaksaku apalagi menyakitiku secara fisik maupun psikis. Aku butuh kenyamanan."
Levin langsung tergelak mendengar persyaratan kedua dari Claudia. Apa wanita itu berpikir Levin adalah seorang psikopat? Tidak pernah terpikirkan oleh Levin bahwa Claudia akan mengajukan syarat semacam itu.
"Oke, oke. Aku tidak akan pernah membantah apapun syarat darimu. Jika hanya itu syaratnya, akan sangat mudah bagiku untuk mewujudkannya. Dan lagi aku tegaskan, Aku tidak akan menunda-nunda pernikahan kita. Satu bulan dari sekarang, kita akan menikah."
"Apa!!! Kau sudah gila Levin. Bagaimana caranya dalam waktu satu bulan kita bisa segera menikah."
"Itu urusanku. Kau tinggal duduk manis dan satu bulan lagi kau akan menjadi istriku. Besok jangan lupa, aku akan membawamu ke rumah orang tuaku dan mengenalkanmu pada mereka."
"Tapi aku ____"
"Tidak ada bantahan. Besok jam sembilan tepat aku akan menjemputmu. Kau persiapan yang rapi dan berikan kesan yang manis pada kedua orang tuaku."
Claudia menatap datar pada Levin. Sejujurnya ia masih tak percaya pria itu menghalalkan segala cara untuk mendapatkannya. Claudia heran sendiri, ia tidak merasa seistimewa itu untuk dikejar seorang Levin Handoko. Apa yang membuat pria itu begitu menginginkannya?
"Levin, aku boleh bertanya sesuatu?" Claudia memberanikan diri bertanya, tidak mau sesuatu di dalam otaknya terus bergejolak tidak menentu.
"Tanyakan saja. Sebentar lagi kita menikah, kau bebas bertanya apapun padaku."
"Apa yang menbuatmu begitu ingin menikah denganku? Bukankah kita baru saja saling mengenal. Dan lagi, aku yakin banyak wanita yang mau naik pelaminan bersamamu yang tentunya memiliki lebih dari segalanya dibandingkan aku."
Raut Levine seketika berubah datar mendengar pertanyaan Claudia. Jawaban dari pertanyaan wanita itu sama saja dengan membuka luka lamanya. Dan juga, Levin tidak mau Claudia merasa dirinya hanya dijadikan tempat pelampiasan. Ia ingin menikah dan berumah tangga secara wajar tanpa mengenang masa lalu. Mungkin alasan dirinya menikahi Claudia padahal karena warna mata wanita itu yang mengingatkannya akan seseorang. Tapi kini Levin bertekad, dirinya akan mencinta Claudia sepenuh hati.
"Karena aku mencintaimu. Aku menginginkanmu dan tidak ada alasan lain selain itu. Jadi hentikan pertanyaan-pertanyaan seperti itu dan kita menikah saja."
Claudia tidak merasa puas dengan jawaban Levin, namun ia tidak mau membantah. Ia tidak mau melihat Levin marah atau tersinggung. Claudia akhirnya meninggalkan ruangan Levin saat dirasa urusan di antara mereka sudah selesai. Ia tidak nyaman satu ruangan berdua dengan lelaki itu terlalu lama. Meskipun sebentar lagi mereka akan menikah, namun Claudia belum terbiasa dengan keberadaan pria itu dalam hidupnya. Tapi mulai sekarang ia akan belajar menerima Levin dan percaya pada lelaki itu untuk menjadi suaminya. Meskipun sejujurnya itu sedikit sulit baginya.
**
Anita sangat bersemangat kala memberikan instruksi pada semua pelayannya di dapur. Ia bahkan mendatangkan dua pelayan dari rumah putranya agar tahu makanan apa yang nanti harus di hidangkan saat calon menantunya tiba.
Ya, Anita senang bukan main saat kemarin Levin menghubunginya dan mengatakan akan membawa calon istrinya kemari. Siapapun wanita itu, Anita dan suaminya sangat senang akhirnya Levin mau menambatkan hatinya pada seorang wanita. Dan kali ini bukan sekedar pacar melainkan calon istri. Berarti putranya sudah benar-benar mantab dengan wanita itu.
"Itu Bi Lastri, dagingnya ada di freezer. Masih baru sebenarnya."
"Ini ya nyonya?"
"Iya. Sayur-sayurannya juga baru semua."
Anita bahkan turun langsung ke dapur. Di ruang makan dan ruang tamunya sudah ada pelayannya yang bersih-bersih. Hari ini hari yang sangat ia tunggu-tunggu. Jadi, harus ada kesan baik ketika nanti calon menantunya berkunjung.
Sedari tadi Anita tidak berhenti memperhatikan salah satu pelayan yang menemani Bi Lastri kemari. Wanita berusia pertengahan dua puluhan itu seperti tidak asing baginya. Bentuk matanya dan juga wajahnya seperti ia pernah melihatnya. Tapi dimana, Anita lupa.
"Nyonya, ini sup ayamnya sudah matang. Apa sudah sesuai dengan selera Nyonya?" Bi Lastri menyodorkan semangkuk sup yang aromanya menggugah selera. Lamunan Anita terhenti seketika. Ia segera menoleh ke arah Bi Lastri dan mencicipi sup-nya.
"Bagaimana Nyonya?"
"Sudah. Ini sudah pas Bi. Bagaimana udang goreng tepungnya, sudah siap?"
"Sudah Nyonya. Vanessa sedang mengantarkannya ke meja makan."
Anita mengangguk, kemudian meletakkan sup yang baru saja matang itu di hadapannya. Ia memberi isyarat Bi Lastri agar duduk di hadapannya. Semua pelayan sedang sibuk menata hidangan di ruang makan, hanya tersisa Bi Lastri dan Anita yang ada di dapur.
"Ada apa Nyonya?"
"Bi, pelayan baru di rumah Levin yang Bibi bawa kemari, tadi siapa namanya?"
"Vanessa Nyonya."
"Itu Bibi yang pilih?"
"Iya Nyonya. Apa ada masalah?"
"Nggak. Kok kayaknya nggak asing ya Bi. Apa perasaan aku aja ya."
"Nggak asing. Nyonya kan memang sudah bertemu beberapa kali saat berkunjung ke rumah tuan Levin."
"Iya juga sebenarnya. Tapi biasanya aku nggak begitu memperhatikan pelayan. Tapi saat aku lihat-lihat kok kayak nggak asing gitu lo."
"Hmmm, mungkin perasaan Nyonya saja. Kan memang terkadang ada yang wajahnya mirip Nyonya. Orang di dunia ini kan banyak."
"Masak gitu sih Bi. Sebenarnya nggak mirip siapa-siapa sih. Tapi kayak nggak asing gitu lo. Kira-kira pernah lihat di mana ya?"
Obrolan Anita dan Bi Lastri terhenti saat Vanessa dan beberapa pelayan lainnya ke dapur untuk mengambil makanan lain yang sudah siap untuk disajikan. Bi Lastri undur diri lalu membantu memberikan arahan pada para pelayan juniornya di meja makan.
Dari tempat yang agak jauh, Anita menatap gadis muda yang kini tengah sibuk menata hidangan itu. Entah kenapa otaknya mendadak penasaran dengan gadis itu. Wajahnya yang tidak asing dan bentuk matanya. Anita seperti pernah melihatnya.
Sadar dirinya lama-lama seperti orang gila, Anita memilih meninggalkan ruang makan dan berjalan menuju kamarnya. Sebentar lagi putra dan calon menantunya tiba. Ia dan suaminya harus bersiap agar saat mereka tiba nanti tidak harus menunggu dan membuat calon menantunya tersinggung.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Lost Princess ( On Going )
RomanceVanessa tidak menyangka, tindakannya untuk menolong seseorang justru menjadi boomerang bagi dirinya sendiri. Semuanya dimulai dari kejadian dimana majikannya yang terkenal dingin dan kejam akhirnya menikah dengan wanita pujaannya. Malam hari setela...