Part 9

572 65 0
                                    

Levin menghajar pria yang menyabotase rem mobilnya. Beberapa hari yang lalu ia nyaris kecelakaan karena rem mobilnya blong. Setelah ditelusuri, ternyata memang ada yang berniat mencelakainya. Dari rekaman CCTV basemant, anak buahnya menangkap pria yang sudah berani menyabotase rem mobilnya.

"Siapa? Siapa yang menyuruhmu menyabotase rem mobilku?" Tanya Levin sambil menginjak telapak tangan pria yang kini terkapar tak berdaya di hadapannya. Pria itu meringis kesakitan, namun tetap menolak untuk bicara.

"Rupanya kau lebih menyayangi nyawa majikanmu daripada nyawamu sendiri."

Levin mengeluarkan pistol yang ia bawa sedari tadi. Ia mengacungkan pistol tepat ke kepala pria bajingan yang hampir mencelakainya itu. Jika bajingan itu berpikir ia akan mati dengan mudah, jangan harap. Levin tidak akan membiarkan kematiannya menjadi mudah.

Dooor

Suara tembakan terdengar bersamaan dengan teriakan kesakitan seseorang. Darah mengalir dari telapak tangan pria yang sudah tidak berdaya itu. Levin menginjak tangan yang sudah tertembak itu dan membuat si penjahat itu semakin berteriak histeris.

"Rupanya bosmu membayarmu dengan sangat mahal. Hingga sesakit inipun, kau masih tetap tidak mau buka mulut."

Levin berdecih, sebenarnya bukan pertama kali ini ada orang yang mencoba membunuhnya. Ia sudah beberapa kali mendapatkan teror. Biasanya ia bisa melacak dengan mudah. Tapi, baru kali ini Levin kehilangan jejak tentang siapa yang hendak membunuhnya. Mengingat ia salah satu pengusaha yang berpengaruh, tidak heran banyak yang menginginkan nyawanya.

Doooor

Tembakan kedua membuat pria itu semakin kesakitan. Levin benar-benar geram karena pria itu tak kunjung membuka mulut. Si majikan benar-benar lihai mencari pembunuh bayaran hingga bisa sangat setia seperti sekarang.

"Bos, ini yang Anda minta."

Seorang anak buah Levin memberikan ponselnya. Levin segera meraih benda itu dan membukanya. Pria itu tersenyum miring setelah melihat apa yang didapatkan oleh salah satu anak buahnya.

"Apa kau akan tetap menutup mulutmu setelah mendengar hal ini?"

"Papa!!!"

Suara teriakan anak kecil membuat pria yang kini tengah tengkurap tak berdaya di lantai itu melotot seketika. Ia hendak terbangun namun Levin langsung menginjak telapak tangannya yang tertembak.

"Aaaaaaw." Pria itu meringis kesakitan. Ia menatap Levin dengan tatapan mengiba, tidak angkuh seperti sebelumnya.

"Tolong jangan sakiti putraku. Kau boleh membunuhku sekarang juga. Tapi ku mohon lepaskan dia!!"

Levin terkekeh geli. Pria itu pikir Levin mau mendengarkan omongan pria itu begitu saja. Levin tidak sebodoh itu. Sebelum pria itu buka mulut, jangan harap Levin akan melepaskannya.

"Katakan."

"Baik, baik. Aku akan mengatakannya. Aku tidak tahu siapa yang menyuruhku. Aku hanya di bayar oleh seseorang untuk menyabotase rem dengan nomer mobil yang mereka perintahkan. Aku tidak pernah melihat wajah pria itu karena memakai masker dan topi."

"Kau tidak berbohong?"

"Sungguh Tuan. Saya tidak berbohong. Ini bukan pekerjaan pertama saya. Tapi baru kali ini saya tidak melihat siapa yang menyuruh saya."

Levin menatap pria itu kemudian menembak lengan pria itu untuk yang ketiga kalinya. Setelah memastikan keterangan yang ia dengar, Levin memutuskan untuk melepaskan bajingan itu. Levine tidak bisa menghabisinya karena ingin mencari jejak tentang orang yang ingin membunuhnya.

"Lepaskan dia. Lepaskan juga anaknya."

"Tapi bos ____"

"Turuti saja."

Levin kemudian menyerahkan pistol pada anak buahnya. Ia meninggalkan ruangan itu setelah menyuruh anak buahnya untuk membersihkan semua jejaknya.

Memang ini bukan pertama kalinya Levine mendapatkan ancaman pembunuhan. Tapi baru kali ini, pelakunya sangat sulit untuk di lacak. Sepertinya si pelaku sangat profesional hingga sudah berjaga-jaga sebelumnya agar tidak ketahuan. Rupanya kali ini musuhnya sangat cerdik. Levin harus berhati-hati.

Setelah keluar dari gudang di mana ia menembak laki-laki bayaran itu, Levin segera masuk ke dalam mobil dan mengendarainya. Dalam hati pikirannya berkecamuk, baru kali ini ia kesulitan menangkap orang yang ingin mencelakainya.

Biasanya Levin bisa dengan mudah melacak orang yang mengancamnya. Dan belakangan, sepertinya ia tidak bermasalah dengan seseorang. Kecuali ayahnya Claudia. Tapi tidak mungkin pria itu yang melakukannya bukan. Wibowo, pria bodoh itu tidak mungkin cukup cerdik untuk melakukan semua ini. Mungkin orang lain. Dan Levin harus segera menyelidikinya agar bisa segera menyingkirkan orang yang berani macam-macam dengannya.

**

"Ya Tuhan Paaaa, akhirnya Arjuna kita pulang. Mama pikir Levin sudah lupa jika masih punya kedua orang tua di rumah."

Anita berjalan ke arah putranya yang datang dengan wajah lesu. Sementara Hendrik yang duduk di ruang tamu hanya tersenyum saat melihat istrinya memeluk manja pada putranya.

"Ma, udah dong meluknya. Sumpek ini."

Anita mengurai pelukannya dan menatap cemberut pada putra tunggalnya itu. Semenjak punya rumah sendiri, Levin jarang berkunjung dan Anita lah yang mengalah mengunjungi rumah putranya karena rindu.

"Kamu itu ya, jarang berkunjung kemari semenjak punya rumah sendiri. Kalau terus terusan gini, mama bakal jual rumah kamu biar kamu balik lagi ke rumah ini."

"Ya jangan gitu dong Ma. Aku nyaman di sana."

"Nyaman sih nyaman. Tapi masak lupa sama rumah orang tua sendiri."

"Siapa sih yang lupa Ma. Aku cuma sibuk aja. Ini buktinya aku berkunjung kemari juga."

"Hari ini nggak boleh cuma berkunjung. Kamu harus tidur di sini. Mama kangen."

"Oke. Terserah Mama aja."

"Udah berdebatnya. Papa belum bicara dari tadi. Kalian berdua sibuk berdebat."

Hendrik berdiri, kemudian memeluk putra kebanggaannya itu. Dulu, ia sempat khawatir Levin akan minder karena tidak memiliki saudara. Hendrik sempat cemas Levine tidak bisa mengurus perusahaan milik keluarga mereka seorang diri.

Namun, ketakutan Hendrik sekarang sirna sudah. Levin merupakan anak laki-laki yang kuat dan bisa memimpin perusahaan dengan kakinya sendiri. Levin bahkan bisa mengatasi ancaman-ancaman dari lawan bisnis mereka. Hendrik sangat bangga pada putra tunggalnya itu.

"Maaf, Pa. Bukan maksudku jarang berkunjung kemari. Aku hanya sangat sibuk. Jadi baru sempat kemari sekarang."

"Papa ngerti. Semenjak papa jarang ke kantor, kesibukan kamu pasti bertambah. Yang penting kamu selalu ngasih kabar. Jadi mama sama papa nggak khawatir."

"Baik Pa. Lain kali aku akan sering memberi kabar supaya Mama dan Papa nggak khawatir."

"Ya udah. Kita makan malam sekarang. Tadi kebetulan bibi masak opor ayam kesukaan kamu. Ayo makan sekarang."

Levin mengangguk. Ia segera berjalan ke meja makan bersama kedua orang tuanya. Levin berharap saat makan nanti, mamanya tidak mendesaknya untuk segera mencari calon. Selain tidak bisa menjawab, Levin juga belum bisa menentukan kapan Claudia masuk ke dalam perangkapnya. Satu-satunya calon istrinya hanyalah Claudia. Jika wanita itu belum memberikan jawaban, Levin akan tetap menunggu dan akan terus menekan sampai wanita itu jatuh ke dalam pelukannya.

The Lost Princess ( On Going )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang