Danial menatap sang mama yang kini tengah di suapi oleh papanya. Ia sedih menatap kondisi sang mama yang sering drop semenjak kehilangan adiknya. Mungkin jika saja mayat Angeline ditemukan, mamanya tidak akan tersiksa seperti sekarang. Masalahnya adalah, tubuh adiknya itu hilang entah kemana semenjak kecelakaan itu.
Bisa saja Danial berasumsi Angeline dimakan binatang buas atau diculik. Namun di hutan itu tidak ada binatang buas. Dan jika diculik, kenapa sampai sekarang penculik itu tidak meminta tebusan atau apapun.
"Sudah Pa. Mama sudah kenyang. Papa berangkat kerja aja. Mama biar sama bibi di rumah." Mamanya tampak masih pucat, membuat papanya seketika menatap Danial. Danial hanya mengangguk pelan, kemudian mendekati ranjang dimana mamanya tengah bersandar.
"Biar Danial yang ke kantor Ma. Belum ada kerjaan darurat yang mengharuskan Papa hadir. Biar Papa di rumah nemenin Mama." Danial mencium kening sang mama kemudian menepuk pundak papanya.
"Danial berangkat dulu, Ma, Pa."
Andika dan Kania mengangguk. Danial bisa sedikit tenang jika ada papanya di rumah. Setidaknya mamanya tidak akan ling lung atau mengigau lagi jika tidak ada siapa-siapa.
Danial menatap jam tangannya yang kini sudah menunjukkan pukul delapan. Lima belas menit lagi ia ada rapat penting. Tadi karena fokus dengan sang mama, Danial lupa jika ia ada rapat penting.
Memecah kemacetan ibukota, Danial mengumpat karena beberapa kali terjebak lampu merah. Dan Danial hitung, ini sudah ketiga kalinya. Waktunya sudah mepet dan mungkin Danial akan sedikit terlambat.
Saat Danial kesal menanti lampu hijau yang tak kunjung menyala, tiba-tiba ada suara tidak asing yang membuatnya menoleh seketika.
Buuuuggh
Shit, sialan
Ada seseorang yang menabrak mobilnya. Mungkin tidak terlalu parah tapi tetap saja mobilnya pasti lecet. Danial menatap jam tangannya saat pengemudi yang menabraknya mengetuk kaca mobilnya.
Danial membuka kaca mobilnya dan melihat seorang wanita tengah termenung menatapnya. Beberapa saat, wanita itu tidak bicara dan hanya menatapnya seperti orang bodoh. Danial hanya menatap aneh pada gadis itu sebelum suara klakson mobil yang ada di belakang mereka membuyarkan lamunan si gadis.
"Eeeh, maaf Tuan. Bisakah kita membicarakan tentang kerusakan mobil Anda bukan di tempat ini. Misal di taman depan atau dimana. Saya akan mengganti rugi sepenuhnya meskipun kerusakannya kecil."
Danial yang tidak tahan mendengar suara klakson yang terus berbunyi segera menyalakan mobilnya sambil menatap gadis itu.
"Tidak perlu ganti rugi. Itu hanya kerusakan kecil dan tidak mungkin kita menyelesaikannya sekarang karena kau dengar sendiri bukan. Para pemilik mobil itu akan membunuh kita jika kita tidak segera pergi."
Dan tanpa mempedulikan reaksi gadis itu, Daniel melajukan mobilnya karena dia juga tidak mau terlambat rapat. Sementara si gadis terlihat segera masuk ke dalam mobil dan melajukan mobilnya lalu belok berlawanan arah dengannya.
Danial tersenyum miring, apa ia boleh sedikit GR karena gadis itu tadi sempat terpana padanya. Apa ia begitu tampan hingga seorang gadis asing terlihat begitu mengaguminya? Dan ketika Danial ingat-ingat, gadis itu lumayan cantik juga. Jika bertemu lagi, mungkin Danial akan mengajaknya berkenalan, hehehe.
**
Venessa memasang softlens di matanya setelah memakai seragam. Hari ini ia harus mulai bekerja setelah istirahat pasca perjalanan. Sudah sore dan ia harus bersiap bersih-bersih dan memastikan pekerjaannya tidak mengecewakan.
Meskipun hanya di tinggali satu orang majikan, rumah ini punya setidaknya lima pelayan dan satu koki. Ukurannya yang besar memang membutuhkan banyak pelayan agar rumah senantiasa bersih ketika ada yang berkunjung.
Ketika Venessa sibuk memasang softlens yang sedikit sulit, Ira, salah satu rekannya masuk dan langsung duduk di atas ranjangnya. Vanessa melirik gadis yang satu tahun lebih tua darinya itu, sepertinya Ira sedang badmood.
"Kau masih lama?" Tanya Ira dengan muka masam.
"Tidak juga." Jawab Vanessa singkat.
"Aku baru saja di omeli Bi Lastri karena ada tikus hampir memasuki dapur. Sekarang aku jadi tidak semangat bekerja." Gerutu Ira sambil merebahkan tubuhnya di atas ranjang milik Vanessa. Wanita itu menatap Vanessa yang sedikit kesusahan mengenakan softlens.
"Kau selalu memakai softlens kemana-mana?" Tanya Ira sambil mendudukkan kembali tubuhnya. Vanessa menggeleng, lalu kembali berkonsentrasi memasang softlensnya.
"Tidak juga. Tapi lumayan sering. Bola mataku berwarna hijau zamrud. Jika orang baru pertama melihatnya, mereka sering bertanya-tanya dari mana aku mendapatkan warna mata ini. Karena aku sendiri tidak tahu, jadi aku memilih memakai softlens hitam agar warna mataku sama dengan kalian."
"Kau tidak pernah bertanya pada kedua orang tuamu?"
"Pernah. Mereka hanya mengira-ngira mungkin salah satu dari nenek moyang ayah ada yang dari Eropa. Dan mungkin memang seperti itu."
"Oooh. Kau sudah selesai. Ayo mulai. Aku masih malas bertemu Bi Lastri."
Vanessa tergelak mendengar ucapan ketus Ira. Keduanya kemudian berjalan menuju dapur dan mulai bersih-bersih. Setelah selesai, waktu sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Mereka harus segera menyiapkan makan malam agar ketika majikan mereka yang menakutkan itu pulang, semuanya sudah beres.
Vanessa dan Ira menyiapkan makan malam seperti biasanya. Makanan untuk satu orang, tapi ada berbagai lauk di sana. Sungguh Vanessa merasa beruntung bekerja di sini. Selain gajinya lumayan besar, makanan enak ini nanti juga akan masuk ke dalam perutnya setelah Pak Levin selesai.
Dan benar saja, pukul tujuh malam Pak Levin sudah bersiap untuk makan malam. Ira sialan itu justru diare dan terpaksa Vanessa melayani Pak Levin sendirian atas instruksi Bi Lastri. Kenapa tidak perempuan tua itu saja yang melayani. Dasar pemalas.
Dengan hati-hati, Vanessa melayani tuan muda yang makan seorang diri itu. Vanessa heran, bukankah kata Bi Lastri tuan Levin itu anak tunggal. Lalu kenapa memilih tinggal sendiri. Kenapa tidak tinggal dengan kedua orang tuanya saja. Pemborosan lahan itu namanya.
"Itu, ambilkan udang gorengnya." Perintah Levin dengan masih tetap menatap ponselnya. Vanessa segera melayani majikannya itu tanpa membantah. Dan saat Levin menyadari siapa yang melayaninya, pria itu langsung menghentikan makannya.
"Kau, kenapa kau yang di sini? Mana Bi Lastri atau Ira?"
"Eeeeh, itu Tuan. Bi Lastri sedang memberi arahan pada pelayan yang lain. Sedangkan Ira tadi tiba-tiba tidak enak badan. Jadi saya yang bertugas malam ini."
"Jangan sampai ceroboh. Sekarang tinggalkan aku. Aku bisa makan sendiri."
"Baik Tuan. Saya permisi kalau begitu."
Vanessa segera beranjak sambil menghembuskan napas lega. Ia akhirnya bisa segera keluar dari suasana menegangkan tadi. Vanessa sangat takut berbuat salah lagi dan ia berakhir dipecat tanpa pesangon. Benar-benar mengerikan jika seperti itu.
Sementara Levin memperhatikan punggung Vanessa lekat. Ia seperti pernah melihat gadis itu. Tapi entah dimana. Mungkin sehari-hari memang pernah melihat karena Vanessa pelayan di rumah ini. Tapi bukan itu. Levin seperti tidak asing. Namun karena tidak kunjung menemukan jawabannya, Levin memilih meneruskan makannya dan membuang pikiran-pikiran tidak bergunanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Lost Princess ( On Going )
RomansaVanessa tidak menyangka, tindakannya untuk menolong seseorang justru menjadi boomerang bagi dirinya sendiri. Semuanya dimulai dari kejadian dimana majikannya yang terkenal dingin dan kejam akhirnya menikah dengan wanita pujaannya. Malam hari setela...