Beberapa bulan kemudian.
Luna baru saja bangun tidur. Dia terkejut karena saat keluar kamar mendapat kejutan dari orang tuanya. Padahal hari ini dia tidak libur sekolah.
Iya. Saat ini Luna sudah memakai seragam. Begitu pula dengan Jeffrey dan Joanna yang sudah memakai setelan kerja.
"Selamat ulang tahun, Sayang!"
Seru Joanna sembari mengecup pipi Luna. Sedangkan Jeffrey mulai menggendong si anak menuju ruang makan. Sebab kue dan nasi kuning ada di sana.
"Ada kue dan nasi kuning! Ih! Suka! Thank you! Mama! Papa!"
Mereka foto bersama. Lalau sarapan setelah potong kue juga. Kemudian berangkat sekolah dan kerja.
Setelah menurunkan Luna, kini saatnya Jeffrey dan Joanna berdua saja. Di dalam mobil karena kantor Joanna agak jauh dari sekolah.
"Aku mau kamu bulan ini resign kerja!"
"Apa hakmu meminta ini?"
Jeffrey menepikan mobil. Sebab dia tidak mungkin lanjut menyetir saat dalam keadaan seperti ini. Mengingat jalanan ramai sekali.
"Hakku? Aku suamimu! Aku bisa memenuhi semua kebutuhanmu! Kebutuhan kita semua dan bahkan orang tuamu!"
Joanna mulai melipat tangan di depan dada. Lalu menatap Jeffrey dari atas hingga bawah. Seolah ingin meremehkan.
"Oh, kamu mau menyombongkan diri? Kamu pikir hanya uang yang menjadi masalah di sini?"
Jeffrey diam saja. Sebab dia mulai bingung juga. Karena selama kerja, Joanna tidak pernah menghamburkan uang. Padahal uang yang Joanna hasilkan akan tetap menjadi miliknya sedangkan uang Jeffrey untuk keperluan keluarga.
Joanna tidak pernah membeli tas dan sepatu mahal kecuali jika sudah benar-benar rusak. Begitu pula dengan pakaian dan produk yang digunakan pada badan. Membuat Jeffrey begitu penasaran apa tujuan si istri kerja.
"Aku kerja agar tidak diremehkan keluargamu! Agar aku tidak dikatai benalu dan menjadi bebanmu! Padahal mereka yang yang seperti itu!"
PLAK...
Jeffrey menampar Joanna. Karena dia tidak terima jika keluarganya dikatai demikian. Mengingat dia merasa jika ini sudah menjadi kewajiban sebagai anak laki-laki di rumah.
"Jaga mulutmu! Mereka keluargaku! Ini sudah menjadi kewajibanku! Begitu juga dengan kamu! Kenapa kamu selalu mempermasalahkan itu? Padahal aku tidak pernah membuatmu kekurangan apalagi kelaparan! Tidak bisakah kamu menghargai keluargaku juga? Mereka sudah merawat Luna saat kamu kerja, apa kamu tidak merasa berhutang budi juga pada mereka? Hanya Mama, Kak Janet dan Celine keluarga yang aku punya. Tidak bisakah kamu menganggap mereka sebagai keluarga juga?"
Joanna mulai berkaca-kaca. Sedangkan Jeffrey hanya menatapnya tajam. Sembari mengepalkan tangan. Seolah tidak menyesal karena sudah menampar.
"Kalau begitu nikahi saja mereka!"
Joanna ingin keluar mobil. Namun dia berhenti saat ingat hal mengerikan yang pernah terjadi di dalam mimpi. Tentang dia yang akan tertabrak saat membuka pintu mobil.
"Lama-lama kamu keterlaluan, ya? Sebenci itukah kamu dengan keluargaku? Memangnya apa yang mereka lakukan padamu hingga kamu bisa sebenci itu!?"
Joanna kembali menatap Jeffrey. Karena bersiap mengatakan semua yang menjadi unek-uneknya selama ini. Sehingga dia kurang menyukai keluarga si suami.
"Pertama, Mamamu selalu memintaku untuk berhemat. Seolah aku sering berfoya-foya dan menghabiskan uang anaknya! Dia selalu mengoreksi setiap hal yang aku lakukan. Seperti jangan memakai AC terlalu dingin saat kamu tidak ada, jangan memakai tisu jika masak dan bahkan memintaku memakai menstrual cup saja saat datang bulan. Agar tidak membeli pembalut dan tampon setiap datang bulan. Kedua, Kakakmu selalu mengambil barang-barang di rumah seenaknya. Seolah rumah kita minimarket bebas bayar baginya. Aku tidak masalah kalau yang diambil hanya bahan makanan saja, meski itu kerap membuatku kesal juga. Tapi yang satu ini sudah sangat kelewatan, dia mengambil multivitamin yang selalu aku letakkan di kotak obat atas kulkas. Tidak itu saja, dia mengambil serum dan beberapa krim malam yang selalu aku letakkan di kamar kita. Ketiga---"
"CUKUP! KAMU BERBICARA SEOLAH-OLAH KELUARGAKU BURUK! SEOLAH---"
"Memang seperti itu! Keluargamu sangaaat buruk! Aku menyesal karena menikah denganmu!"
Joanna berniat membuka pintu mobil. Namun Jeffrey menahan tangannya saat ini. Dengan mata merah sekali.
"KAMU BENAR-BENAR SUDAH KETERLALUAN! FINE! KALAU KAMU MENYESAL, LEBIH BAIK KITA AKHIRI SAJA!
Joanna yang mendengar itu jelas semakin tersulut. Dia melepas cincin dan melempar pada belakang mobil pria itu. Kemudian keluar dari mobil tanpa mengatakan apapun.
Joanna duduk di kursi trotoar terdekat. Nafasnya tersenggal. Karena dia berlari sebelumnya.
Namun dibanding dengan khawatir masalah pernikahan, dia justru lebih kahwatir tentang mimpinya. Karena di mimpi dia berakhir kecelakaan. Setalah nekat keluar mobil seperti sekarang.
"Apa masa depan berubah? Apa sekarang aku bisa hidup dengan tenang tanpa merasa ketakutan?"
Joanna merasa lega. Dia mulai menitihkan air mata. Sebab selama bertahun-tahun ini dia selalu tidur dalam keadaan gelisah. Dia tidak pernah nyenyak tidur malam. Karena selalu ketakutan.
10 comments for next chapter.
Tbc...