"Seseorang mungkin akan sadar jika ada sebuah hati yang jatuh padanya, namun secara sadar pula ia akan berkata bahwa ia tak mampu membalas perasaan itu dengan hatinya."
- Agam Syahdan Saputra -
***
Jakarta, 2016
"Tapi tahu nggak, sih, muka Kanin waktu ada kak Agam kemarin, langsung kelihatan nervous, hahaha!"
Abel bercerita dengan ceria. Sepanjang berjalan di lorong sekolah, puas sekali ia menceritakan kepada Sevanya tentang perubahan sikap Kanin saat berada di dekat Agam kemarin."Gimana nggak nervous, namanya juga duduk hadap-hadapan sama orang yang disuka."
Kanin sontak memutar kedua bola matanya dengan malas. "Siapa bilang gue suka sama kak Agam?"
"Sikap lo yang bilang gitu."
Kedua kaki Kanin berhenti melangkah secara tiba-tiba yang secara otomatis membuat kedua temannya melakukan hal yang sama. Abel dan Sevanya menatap ke arah Kanin dengan salah satu alis yang tertarik ke atas.
"Kenapa, Nin?" tanya Sevanya heran.
Tak langsung menjawab pertanyaan dari Sevanya, Kanin terlihat membisu beberapa saat di tempatnya. Benarkah apa kata Sevanya? Sikapnya saat berada di dekat Agam memberi tahu bahwa ia suka pada cowok itu? Semudah itukah perasaannya terhadap Agam tertebak? Jika memang demikian, lantas apakah Agam juga akan mengetahuinya dengan jelas?
Tidak! Sikap gugup yang Kanin perlihatkan di hadapan Agam kemarin adalah sikap yang wajar. Bagi seorang murid yang baru saja memasuki sekolah dan bertemu langsung dengan ketua OSIS di sekolah tersebut, wajar saja jika merasa gugup, bukan? Jadi, Kanin tetap tak ingin menyangkut pautkan sikap gugupnya dengan perasaannya.
"Enggak papa, gue kira gue lupa bawa HP," balas Kanin sembari meraih ponsel miliknya dari dalam tas sebagai alibi. Ia tak ingin kedua temannya sungguh tahu jika ia memang telah menyukai Agam.
Kedua gadis itu kemudian melanjutkan langkah kaki mereka yang sempat terhenti. Mereka kembali melangkah menuju ruang kelas sembari berbincang satu sama lain. Perbincangan yang ternyata masih belum berubah sama sekali. Topiknya masih sama, yaitu Agam.
"Tapi, Nin, gue denger-denger, Kak Agam tuh sebenernya cuek, enggak friendly. Jadi, kalau dia bersikap ramah dan friendly, gue rasa itu cuma formalitas aja karena dia ketua OSIS di sekolah ini."
Abel yang memulai percakapan ini lagi. Gadis itu memasang raut serius di wajahnya sembari terus melangkahkan kedua kakinya dengan pelan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Garis Lengkara
Fiksi RemajaMenyapa luka dalam hampa, memperkokoh langkah yang mulai goyah menjadi jejak langkah, beranjak mengais memori yang kian memburam. Dalam suatu episode per episode yang mulai hirap ditelan masa, sebuah pertanyaan yang telah lama menggelantung di memor...