Sagas. VI: ... Oiseau Rebelle

303 45 22
                                    

Maaf baru up sekarang, author lagi dilanda kegundahgulanaan karena RRQ ga lolos playoffs, HIKSSSS. maap yak kalau agak panjang wkwkwkwk. ini aslinya hampir 4 ribu kata, makanya harus aku cut jadi dua part, itu pun blm selese sebenernya HIKSSSS. anw, enjoy <3

Gelapnya malam menjadi saksi perbincangan antara dua pemuda yang mereka lalukan melalui ponsel. Rembulan malu-malu menampakkan sebagian wajahnya, bersembunyi di balik awan yang pasrah dengan kelakuan benda selestial itu. Namun, apa untungnya, toh, sang tokoh utama malam ini, sang pemuda yang tengah berbincang itu tetap tidak dapat melihatnya dari ruangan itu. Pemuda yang satu tengah berdiri mematung, matanya fokus terhadap lorong sekolah yang gelap gulita. Walau dinding kaca itu tembus pandang, matanya tidak menangkap apa-apa karena listrik sekolah mayoritas dipadamkan setelah memasuki waktu malam. Pun sama halnya dengan ruangan OSIS di mana ia sedang berada. 

"Boy, semua aman?" 

"Aman, Kairi." 

"Bagus kalau gitu. Gue percaya lu, boy." 

Kiboy menghela napas. "Thank you, Kai. Tapi, gue enggak yakin gue bisa handle ini lebih lama. Orang-orang pada akhirnya bakal tahu. Kita enggak bisa nyembunyiin selamanya ini dengan cara apapun. Pada akhirnya kita bakal ketemu sama konsekuensinya." 

Belum ada balasan langsung. Tampaknya Kairi di sana juga membutuhkan waktu untuk berpikir. "Enggak harus selamanya, kok, Boy. Yang kita butuhkan cuma waktu yang cukup. Semoga bisa selesaiin ini semua secepatnya." 

"Gue juga berharap gitu." 

Kiboy kemudian berpikir sejenak sebelum menambahkan, "Tangan kita udah kotor, Kairi. Bahkan, udah berlumuran darah." 

Terdengar tawa renyah pemuda yang menjadi ketua umum OSIS dari sana. "Astaga, Kiboy. Justru itu. Udah telat kalau kita balik dan kabur sekarang. Kita udah terlanjur basah, kenapa enggak sekalian nyebur aja?" 

Kiboy berdecak kesal. "Mana bisa gitu, Kai," cibirnya. Kegelapan malam dan absennya penerangan di ruangan itu masih tidak bisa menyembunyikan kecemasan yang tersirat jelas di wajah Kiboy. 

Kairi sekali lagi tertawa, sedangkan Kiboy hanya bisa mendengarnya dalam diam. Kairi kemudian melanjutkan ucapannya, kali ini dengan nada yang cukup serius. "Tapi, Boy. Satu hal lagi. Liatin terus Skylar sama gengnya. Gue lumayan ada firasat kalau mereka bakal nglakuin hal yang aneh-aneh. Terutama Banana. Dia jauh lebih unpredictable dari yang gue kira. Banana bisa langsung sana-sini. Lobinya bukan main." 

"Kalau itu jelas bakal gue lakuin, Kai. Gue juga ada firasat enggak enak soal mereka." 

"Sama itu, Boy. Lakukan apa yang lo perlu aja. Andai lo perlu dengan cara yang lumayan kasar, gue tetep bakal dukung lo. Gue yang bakal tanggung." 

Kiboy terdiam saat mendengar kalimat yang Kairi ucapkan. Apakah ia serius dengan ini semua? Kiboy tidak pernah berpikir bahwa urusan ini akan menjadi sejauh itu, misi kecil yang dulu diciptakan oleh Kairi sekarang berubah menjadi operasi rahasia setingkat rahasia negara. 

"Udah, kan? Aman, ya. Gue mau lanjut ngurus dari sini." Kairi menutup telefon, bahkan sebelum Kiboy bisa membalasnya. Kiboy menatap ponselnya hampa dan segera memasukkannya ke kantong celana. Netra coklatnya tampak terpaku pada dinding kaca yang menghadap koridor itu. Mulutnya seperti mendumal tidak jelas, kesengitan juga terpatri jelas di matanya. 

"Skylar. Banana. Kenapa lo berdua harus nyusahin gue, sih!" 

***

Skylar memandang pemuda -ia saat pertama kali melihatnya menganggapnya sebagai bocah, tetapi ternyata mereka satu sekolah- itu dengan tatapan tidak yakin. Brusko juga menatap pemuda itu dengan tatapan yang sebelas dua belas dengan Skylar. Yang berbeda hanyalah Banana, ia memandangnya dengan tatapan 'bangga' atau 'yakin'. Sementara itu, pemuda yang ditatap menjadi malu-malu. Ia menggaruk tengkuknya yang bahkan tidak gatal. Ia cengengesan sendiri.

the lurking light; RRQTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang