Theo is back! enjoy the part all!
***
Sepasang mata elok itu memandang tajam layar laptopnya. Napasnya tertahan menunggu notifikasi bahwa email yang ia tulis telah terkirim. Ia bernapas lega ketika memastikan bahwa Banana telah menerimanya. Anavel segera menutup laptop, menaruhnya di meja di samping ranjangnya. Ia memejamkan mata sejenak, jemarinya memijat kepalanya yang terasa pusing. Ia mencoba menenangkan dirinya sendiri. Pikirannya masih diisi oleh pertemuannya tadi dengan rombongan Banana. Ia harus bertindak cepat untuk membantu atau paling tidak menyelamatkan mereka bertiga dari mara bahaya. Ia menatap kosong jendela kamarnya yang terbuka lebar, menampakkan pemandangan hutan yang mengelilingi vila miliknya.
Hutan itu rindang, hijau, dan asri. Angin sepoi-sepoi mengajak dedaunan lebat itu menari bersamanya. Damai, tenang, sunyi, kontras dengan kondisi hati Anavel. Ia segera berdiri, sedikit berlari menuju lemari pakaiannya.
"Ya, ampun, Bi," kaget Anavel.
Perempuan itu berdiri di belakang Anavel, memandangnya cemas. Matanya kemudian berpindah emosi menjadi sedikit menyesal telah mengagetkan Anavel. "Maaf, Den, tadi Bibi denger gubrak gubruk di kamar Den Avel, jadinya bibi ke sini."
Anavel tersenyum tulus dan menggeleng. "Enggak apa-apa, kok, Bi."
Bibi Kama kemudian menangkap tas yang terbuka lebar dengan baju yang berserakan di mana-mana. Secara reflek, ia berniat untuk memungut dan merapikannya. Namun, Anavel menahannya. Bibi terkaget sebenarnya. "Loh, Den Avel ini mau ke mana?"
Awalnya, pemuda berambut hitam legam itu tidak ingin menjawab, tidak berani menjawab. Ia hanya menunduk dan menatap lantai. Bibi Kama mendekatinya. "Den Avel," tanyanya dengan suara rendah sekaligus tegas, "Den Avel pasti mau pergi jauh, ya? Tentang Mas Banana tadi?"
Anavel kalap karena Bibi telah mengetahui niatnya yang ingin pergi ke luar kota, paling tidak ia harus menemui orang yang menurutnya jauh lebih paham soal permasalahan ini. Satu orang yang ia kenal yang bisa menyelamatkan rombongan Banana dari kejahatan yang tengah mengintai mereka. Alibi apa pun tidak dapat dibentuk oleh pemuda itu, ia hanya pasrah mengangguk kecil.
Bibi menghela napas tegas. Ia sedikit berjongkok agar wajahnya dapat berhadapan langsung dengan wajah Anavel. "Den Avel bukannya udah janji, ya, sama diri sendiri, kalau Den Avel udah enggak mau ikut campur di urusan seperti ini lagi?"
Pertanyaan dengan nada lugas itu mengguncang hati Anavel. Benar, insiden yang terjadi beberapa tahun lalu ketika mereka masih kecil, di mana ia dan Banana melakukan kesalahan paling fatal, masih terpatri di hati kecilnya. Benar, ia telah berjanji pada diri sendiri bahwa dirinya tidak akan berurusan dengan anugerah yang ia miliki. Maka dari itu, Anavel tidak berani langsung menjawab pertanyaan dari Bibi Kama. Ia membutuhkan beberapa detik keheningan untuk melontarkan balasannya.
"Tapi, Bi. Aku enggak bisa biarin Banana sama temen-temennya di situasi ini. Mereka butuh banget bantuan."
"Terus, Den Avel mau nolongin gimana?"
Anavel meluruskan kepalanya diikuti oleh Bibi yang kemudian berdiri tegak. "Aku bakal ketemu sama Mas Vincent. Dia bisa nolongin Banana, Bi."
Bibi terbelalak ketika pemuda di depannya itu menyebutkan nama seseorang yang tidak pernah disebut selama paling tidak dua tahun. Bibi tampak merinding seketika. Ia menelan ludah, mencoba untuk membuat skenario di otaknya mengenai rencana Anavel itu. Hatinya mengatakan ini bukanlah ide yang baik. Ia kemudian menggeleng.
"Jangan, Den."
"Barangkali ini ada hubungannya sama insiden dulu. Barangkali memang ini takdir Avel buat nyelesain masalah itu sekarang."
KAMU SEDANG MEMBACA
the lurking light; RRQ
Horror"Irrad, jangan sembarangan ngambil yang bukan punya kita." "Ih, padahal gue cuma metik setangkai bunga." "Balikin." "Tapi, cakep ga si, Sky?" the story may contain bxb (queer) relationship, be wise. don't like, don't read.