Bab 4

1K 99 7
                                    


Jam 8 kami berkumpul di ruang meeting. Menurut Bu Mita setiap senin diadakan meeting untuk membahas rencana kerja satu minggu ke depan dan mereview pekerjaan satu minggu sebelumnya, itu di luar meeting dadakan.

Kami duduk mengelilingi meja besar berbentuk oval dengan Pak Aryo duduk di kepala meja. Bu Mita duduk di samping kanan Pak Aryo, aku duduk di samping Bu Mita, sehingga aku bisa melihat Pak Aryo dengan jelas. Dia terlihat sangat muda untuk ukuran seorang direktur, Mungkin umurnya sekitar 30 tahunan. Dalam bayanganku seorang direktur itu seseorang dengan kisaran usia 50 tahun, mengenakan setelan jas dan dasi. Pak Aryo hanya mengenakan kemeja lengan panjang yang digulung hingga siku, nampak santai. Ehm, mungkin karena ini bukan perusahaan super besar. Orang tidak akan menduga Pak Aryo bermasalah (aku merasa kata cacat rasanya terlalu kasar) dengan kakinya jika dia duduk dan kursi rodanya tidak nampak karena dia berperawakan tinggi .

"Ini karyawan baru Pak namanya Rahayu." Bu Mita memperkenalkan aku.

Aku menganggukkan kepala dan tersenyum sebagai tanda sopan santun.

"Iya," jawab Pak Aryo, menoleh sekilas tanpa membalas senyumku, dia kembali menekuri laptopnya. Keadaan ini membuatku salah tingkah dan malu, merasa tampak jadi orang genit karena tersenyum sendiri.

"Nanti Bu Mita ajak keliling dan kenalkan pada semua ya," katanya tanpa mengangkat kepala dari laptopnya.

Pak Aryo membuka meeting, melemparkan senyum tipis ke semua peserta rapat sebelum mengucapkan salam lalu memaparkan pencapaian kerja minggu lalu dan beberapa pekerjaan yang harus diperbaiki atau belum selesai. Kalimatnya begitu teratur, suaranya tegas dan jelas, ekspresi wajahnya serius tapi terlihat tenang. Aura bosnya terasa, penuh wibawa dan terlihat cerdas. Dalam beberapa menit aku langsung mengaguminya. Tidak bisa kupungkiri, Pak Aryo juga cukup tampan.

Pak Aryo menunjuk secara random peserta rapat untuk memberi tanggapan atau menjelaskan pencapaian kerjanya di minggu lalu. Terakhir Pak Aryo menjelaskan rencana kerja satu minggu ke depan berikut tugas yang harus dilakukan setiap orang kecuali aku, ya namaku belum disebut untuk melakukan apa. Aku maklum, biasanya pegawai baru diperbantukan pada pegawai senior sebelum benar-benar mendapat tugas sendiri.

Pak Aryo memaparkan rencana sistem pendataan dan dokumen akan mulai dilakukan secara digital dan terintegrasi untuk memudahkan akses dan menerapkan paperless.

"Saya tahu ini akan butuh penyesuaian yang mungkin tidak nyaman tapi itu hanya awalnya jika sudah terbiasa malah lebih mudah dan praktis."

Ya dengan sebagian karyawan berusia setengah baya dan terbiasa mendokumentasi secara manual tentu tidak mudah menerapkan sistem digital, aku bisa membayangkannya. Aku pikir Pak Aryo akan membawa perusahaan yang berbasis UMKM ini ke arah modern.

Meeting selesai. Aku siap-siap beranjak dari kursi mengikuti Bu Mita, mungkin Bu Mita yang akan mendelegasikan pekerjaan, pikirku. Namun suara Pak Aryo menghentikan langkahku,"Rahayu kamu bisa nyetirkan? Hari ini ke Klaten ya cek gudang di sana, temui Pak Indra."

Perintah itu sontak membuat jantungku berdebar kencang karena aku baru selesai belajar menyetir minggu lalu atas perintah Bu Hardjo dan aku belum berani bawa kendaraan sendiri dengan jarak lumayan jauh.

Dengan memberanikan diri aku berkata,"Maaf Pak, saya belum lancar nyetirnya."

Dia berdecak, wajah tenangnya berubah kesal, bibirnya melengkung ke bawah, saat menatapku kedua alisnya menukik. Ekspresi yang membuat nyaliku menciut. "Minta Pak Rahman antar, tapi kamu tetap yang menyetir biar lancar," katanya lalu kembali mengarahkan perhatiannya pada laptop. Pak Aryo ternyata tidak seramah yang kuduga atau kulihat saat meeting tadi. Rasa kagumku menyusut seperti juga nilai ketampanannya yang turun di mataku.

"Baik Pak." Tenang Ayu, tenang pasti kamu bisa. Tapi tetap saja, rasanya mau menangis membayangkan menyetir sepanjang jalan Yogya Klaten.

Pak Rahman menemaniku menyetir dengan sabar, memberi arahan dengan tenang namun tidak lantas membuat jantungku berdetak normal. Keringat dingin membasahi tengkuk sepanjang perjalanan padahal AC kendaraan cukup dingin . Aku baru bisa menarik nafas lega setelah kendaraan sampai di parkiran pendopo, di mana puluhan pengrajin batik tulis bekerja. Sebagian orang membuat batik cap. Rasanya dejavu. Aku pernah diajak Bapak ke sini saat kecil, melihat orang-orang membatik dengan rasa ingin tahu dan penasaran, berlari kesana-kemari mengelilingi pendopo, sebelum Bapak memanggil dan menyuruhku duduk manis di salah satu sudut pendopo.

Pendopo dengan tiang-tiang dari kayu jati besar, dinding dari kayu berukir dengan pola rumit, kami menyebutnya gebyok. Pendopo dibuat tanpa pintu, terbuka di bagian depan dan tanpa sekat. Pada hari Sabtu atau Minggu pendopo ini terbuka untuk wisatawan dan eduwisata kursus membantik. Tiket masuknya cukup mahal untuk membatasi pengunjung, pembatasan pengunjung tak lain agar fungsi utama pendopo terjaga.

Pak Indra berperawakan gempal, senyumnya lebar dan ramah. Dia mengenaliku sebagai anak Pak Eko, mantan kepala gudang di sini, sepertinya semua pegawai di sini tahu siapa diriku dan itu membuatku tidak nyaman kesannya aku bekerja di sini karena rasa kasian Bu Hardjo.

Pak Indra mengantarku ke gudang di belakang pendopo, sebuah ruangan besar bersekat dua, satu berisi tumpukan batik yang sudah jadi dan siap di kirim, ruangan lain berupa bahan baku, yang tersusun rapih dalam rak-rak. Menatapnya membuat aku teringat Bapak.

"Motif batik itu ada maknanya, bukan sekedar coretan gambar. Begitu juga warnanya," terngiang ucapan Bapak dulu. "Jaman dulu tidak semua motif batik boleh digunakan orang. Ada motif yang khusus dipakai oleh bangsawan, keturunan dan keluarga Raja Jawa."

"Batik motif parang dulu dipakai oleh raja-raja dan bangsawan Mataram karena memiliki makna filosofi simbol perjuangan melawan hawa nafsu dan keserakahan." Bapak juga bercerita motif batik yang digunakan pada serangkaian upacara adat jawa, tidak sembarangan. Di Keraton Yogyakarta ada motif batik yang penggunaannya di sesuaikan dengan aturan, tidak semua orang boleh memakainya.

"Motif batik cermin dari budaya masyarakatnya, kamu lihat kenapa ini motif bergambar ikan dan kerang dengan warna cerah? Itu disebut batik pesisir. Batik yang dulunya dibuat oleh masyarakat pesisir. Mereka memilih motif binatang atau tumbuhan yang tidak jauh dari kehidupan laut dan pantai. Berwarna cerah karena begitulah karakter orang pesisir."

"Kamu tahu kenapa harga batik tulis mahal Yu, karena nilai seninya tinggi. Membuatnya perlu waktu berhari-hari, butuh kesabaran dan ketelatenan. Dan batik tidak bisa dibuat tanpa rasa suka atau cinta pembuatnya. Pewarna yang kita gunakan di sini pewarna alam yang butuh waktu untuk membuatnya."

Begitulah Bapak menjelaskan batik dengan panjang lebar. Bapak mencintai pekerjaannya karena dia mencintai batik. Aku mencintai pekerjaanku kini karena penghasilannya. Bukan berarti aku tidak suka batik tapi tidak sebesar Bapak. Aku suka mengenakan pakaian batik dengan desain modern. Bapak pernah memintaku belajar membatik, tapi aku tidak bisa menggambar dengan pola rumit. Dan membuat itu butuh ketelatenan, sedangkan aku kurang telaten.

Complicated BossTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang