Flash back
Almarhum Bapakku pernah berkata, jodoh itu cermin diri. Jika ingin tahu seperti apa jodoh kamu, lihat saja dirimu di cermin. Kalau kamu melihat pantulan dirimu di cermin sebagai orang baik maka jodohmu orang baik. Jadi kalau kamu mau jodohmu orang baik-baik kamu harus jadi orang baik.
Kenyataannya tidak sedikit perempuan baik, setelah menikah mendapat perlakuan kasar dari suaminya, mengalami KDRT atau diselingkuhi. Apa itu artinya para perempuan baik itu belum bertemu jodoh sebenarnya? Atau itu ujian hidup yang harus dilalui?
Lalu aku ingat Bu Hardjo, bergaris wajah judes lengkap dengan mulut tajamnya, berjodoh dengan Pak Hardjo yang ganteng - sisa ketampanan masa mudanya masih terlihat - ramah dan rendah hati. Pak Hardjo akan menyapa orang yang dikenalnya dimanapun sambil menganggukkan kepala walaupun orang itu supir kantornya, tukang kebunnya, Pak satpam, dia tidak pernah membeda-bedakan memberlakukan orang. Kerendahan hati yang diam-diam aku kagumi.
Apa kira-kira yang membuat Pak Hardjo dulu jatuh cinta dengan Bu Hardjo? Bu Hardjo memang cantik, tapi apa mulut tajam dan tinggi hatinya tidak membuat Pak Hardjo kehilangan rasa suka? Karena aku pernah diam-diam menyukai teman kuliah yang tampan tapi begitu mendengar cara bicaranya yang merendahkan orang lain atau membanggakan dirinya sendiri, perasaanku berubah. Kesimpulanku jodoh itu penuh misteri.
"Minumnya Mba Ayu. Ibu sehat?" Sapaan Mbok Anah membuyarkan lamunanku. Dia meletakkan cangkir teh di meja.
"Terima kasih. Alhamdulillah Mbok. " Aku menemui Bu Hardjo seperti saran Ibu. Karena aku hanya bisa menemui Bu Hardjo hari Sabtu saat libur mengajar. Bu Hardjo memintaku datang ke rumahnya.
"Makin ayu aja kamu Yu, bentar lagi Ibumu mantu nih."
"Belumlah Mbok baru juga kerja." Aku kenal Mbok Anah sedari kecil, asisten rumah tangga Bu Hardjo. Setiap Bu Hardjo ada acara hajatan atau syukuran, Ibu akan diminta untuk bantu-bantu dan biasanya Ibu mengajakku. Aku membantu Ibu menyiapkan makanan yang akan dihidangkan pada tamu dan beres-beres setelah acara selesai, seperti saat pernikahan kedua anak perempuan Bu Hardjo, Mba Ratna dan Mba Anti. Sungguh hal yang tidak aku sukai walaupun Ibu memberiku uang jajan ekstra esok harinya. Mbok Anah juga biasanya memberiku uang jajan. Aku mulai menolak ajakan Ibu sejak sekolah SMA, sebagai gantinya Ibu mengajak Muti.
"Iya puasin kerja dulu, sayang sekolah tinggi-tinggi. Saya pamit ke belakang ya."
"Iya Mbok."
Aku mengedarkan pandanganku pada sepetak taman di depan, taman yang persis bersebelahan dengan karpot di mana dua kendaraan terparkir di sana. Satu kendaraan berukuran besar berwarna hitam, di sebelahnya mobil sedan berwarna merah.
Taman yang tidak berubah susunannya, pot dan jenis tanamannya sejak aku kerap ke sini diajak Ibu untuk bantu-bantu saat Bu Hardjo mengadakan acara hajatan. Pohon bougenvile di sudut kanan dekat pagar, merambat ke atap karpot. Pohon mawar merah di depan kamar di samping teras tempat aku duduk, sulurnya dibuat melengkungi ke atas jendela lalu diikat rapih, sehingga saat membuka jendela mata akan disambut bunga-bunga mawar. Di sudut kiri ada pohon ketapang, meneduhi ayunan yang sudah berkarat. Ayunan yang dulu aku naiki secara diam-diam jika Bu Hardjo sibuk dengan Ibu di dapur.
Dulu aku mengagumi taman ini dan berkhayal jika kelak memiliki rumah akan membuat taman seperti ini, seiring waktu aku mulai bosan dengan taman ini. Bayangkan saja taman ini tidak berubah sejak aku kecil hingga lulus kuliah. Tidak heran jika Bu Hardjo tidak punya waktu untuk memikirkan taman, dia terlalu sibuk mengurus usahanya.
"Dari tadi Yu?"
"Nggak, Bu," Aku berdiri menyosong Bu Hardjo dan mengulurkan tangan memberi salam.
Bu Hardjo duduk di kursi sebrang meja.
Satu hal yang aku kagumi dari Bu Hardjo selain kepandaiannya mengelola usaha adalah penampilannya yang selalu rapih dan cantik walaupun sedang di rumah. Dia mengenakan lipstik berwarna merah yang lembut, tidak mencolok, sapuan bedaknya tipis dan merata. Rambutnya selalu dicepol ke belakang dengan konde di atasnya. Pakaiannya terusan dari kain batik tapi bukan daster. Aku tidak pernah melihat Bu Hardjo memakai daster walaupun sedang di rumah. Sisa kecantikannya masa mudanya masih terlihat jelas, seperti juga wajah juteknya.
"Seperti yang Ibu ceritakan sama Ibumu. Ibu menawarkan lowongan pekerjaan di sini."
"Iya Bu, tapi sayang, saya sudah mengajar di sekolah."
"Tapi kan statusmu di sana guru kontrak."
Aku menelan ludah pahit. Ya ampun pasti Ibu yang memberi tahu Bu Hardjo. Hal yang harusnya tidak perlu Ibu ceritakan. Untuk apa? Kalaupun aku baru jadi guru kontrak rasanya wajar sebagai fresh graduate toh pihak sekolah juga menjelaskan jika kinerjaku bagus kotrak akan diperpanjang karena sekolah memang membutuhkan guru. Dalam 2 atau 3 tahun ada peluang jadi guru bidang studi atau wali kelas. Andaipun kontrak tidak diperpanjang aku bisa mencari kerja di sekolah lain dengan lebih mudah karena sudah memiliki pengalaman.
"Sudah berapa bulan kamu ngajar di sana?"
"Tujuh bulan, Bu."
"Berarti lima bulan lagi ya kontraknya habis?"
"Iya bu tapi kemungkinan diperpanjang karena sekolah memang membutuhkan guru," kataku dengan percaya diri.
"Tapikan baru kemungkinan, belum pasti."
"Kemungkinannya sembilan puluh persen Bu, karena memang ada lowongan guru, kontrak hanya untuk memastikan saya tidak pindah secara mendadak."
"Memang gaji kamu berapa sih di sana?" Bu Hardjo mendelik, bibirnya merenggut.
"Lumayan Bu."
"Paling UMR kan? Yu, Ibu bisa menggaji kamu lebih besar dari UMR."
"Maaf Bu, tapi saya sudah terikat kontrak." Gaji yang ditawarkan Bu Hardjo lebih besar tapi bekerja tidak sekedar mengejar besarnya penghasilan tapi ketenangan, suasana kerja yang nyaman, aku tidak bisa membayangkan bekerja dengan bos seperti Bu Hardjo. Untuk mencari penghasilan tambahan aku berencana melamar jadi guru di sebuah bimbingan belajar.
"Ya setelah masa kontrakmu habis kamu kerja di sini."
Aku tidak mengira Bu Hardjo akan menawariku kerja dengan setengah memaksa setelah menolakku. Aku merasa senang karena bisa menolaknya. "Terima kasih Bu, tapi saya lebih suka jadi guru," tolakku halus, tak lupa kusematkan sebuah senyum, tapi dalam hati aku tertawa penuh kemenangan.
![](https://img.wattpad.com/cover/367696423-288-k716217.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Complicated Boss
Chick-LitCerita dengan genre chicklit, komedi romantis. Romantika working girls, bukan drama cinta ala CEO. Waktu selalu punya cara membuat kejutan tak terduga, terutama dalam hal melibatkan perasaan..... Saat jatuh cinta dalam diam dan diam-diam. Sayangnya...