Republish-revisi cerita ini tidak terlalu banyak perubahan, hanya memperbaiki typo dan menambal cerita yang terasa bolong.
Yang mau baca ulang, boleh banget....
Untuk pembaca baru Rinoshin, bisa baca juga cerita Selaksa Rasa, sudah tamat.
Happy reading.
***
Jangan membenci sesuatu karena bisa jadi yang kamu benci itu yang terbaik buat kamu. Jangan membenci sesuatu karena keadaannya bisa saja berbalik, kamu jadi menyukainya. Jangan terlalu membenci sesuatu karena bisa saja keadaan memaksamu untuk menyukainya. Dan itu yang kurasakan sekarang, setelah bersumpah dalam hati tidak akan bekerja pada Bu Hardjo, hari ini berada di kantornya, sebagai karyawan.
Ya, ini hari pertama aku bekerja di perusahaan Bu Hardjo. Bu Mita mengajak keliling kantor, menunjukkan ruangan-ruangan di sini. Jangan bayangkan kantor ini berupa gedung bertingkat seperti perkantoran di Jakarta. Gedung kantor berupa rumah tua yang besar dengan desain rumah jaman Belanda. Kabarnya rumah ini dulu memang milik Tuan Tanah Belanda. Rumah dan halamannya luas. Beberapa bagian sudah direnovasi tanpa meninggalkan kesan klasiknya sebagai rumah jaman Bbelanda. Aku ingat Bapak pernah cerita, Bu Mita adalah orang kepercayaan Bu Hardjo nomor satu di kantor, pemegang uang di perusahaan atau istilahnya bagian finance. Aku juga ingat pernah bertemu Bu Mita di pesta pernikahan anak tertua Bu Hardjo, tapi Bu Mita pasti tidak mengingat itu. Kutaksir usia Bu Mita tidak beda jauh dengan Bu Hardjo.
Dari penjelasan Bu Mita, aku mengambil kesimpulan jika pengelolaan perusahaan masih kental dengan nuansa kekeluargaan ala UMKM. Bisnis Bu Hardjo memang berawal dari usaha rumahan yang kemudian berkembang seperti sekarang. Kebanyakan karyawan bagian administrasi yang jumlahnya tidak sampai 20 orang, usianya setengah baya dan sudah bekerja di sini sejak usaha ini berdiri 20 tahun lalu. Kantor ini adalah pusat administrasi dari perusahaan Bu Hardjo yang memberdayakan puluhan pembatik tulis lokal, selain batik tulis Bu Hardjo juga memproduksi batik cap dengan desain eksklusif dan dibuat dengan jumlah terbatas atau sesuai pesanan.
Kantor ini juga merangkap kantor suaminya yang merupakan seorang kontraktor. Sedikit yang kutahu dari Bapak, suami Bu Hardjo adalah seorang kontraktor, mengerjakan proyek pembangun komplek perumahan, ruko, kost-kostan dan penginapan di daerah Yogyakarta dan sekitarnya.
Kalau dulu manajemen usaha Bu Hardjo dan Pak Hardjo terpisah walaupun terletak dalam satu kantor, kini digabungkan, jelas Bu Mita, karena kini usaha ini dipimpin satu orang. Penggabungan baru dilakukan enam bulan lalu.
Aku jadi ingat, Ibu pernah cerita jika suami Bu Hardjo terkena stroke, jadi mungkin usaha Pak Hardjo dipegang Bu Hardjo.
Pusat pembatikan Bu Hardjo berada di kota Klaten. Almarhum Bapakku dulu di tempatkan di sana menjadi kepala gudang. Batik-batik tulis dan cap yang dibuat eksklusif pesanan para desainer ibu kota, para istri pejabat, orang pemerintahan, batik seragam kantor atau batik pesanan para pengusaha yang ingin memberikan batik eksklusif sebagai hampers. Selain itu Bu Hardjo juga memiliki brand batik sendiri dengan butik yang tersebar di kota-kota besar.
Dulu pernah diajak Bapak ke pendopo dan gudang batik Bu Hardjo di Klaten dan dibuat terpana melihat batik-batiknya, motif, desain dan warnanya indah, bukan batik yang sering kutemui di pasar-pasar atau yang biasa dipakai daster Ibu. Lalu Bapak membisikkan harganya dan membuat terkejut, harganya bisa mencapai ratusan ribu hingga jutaan rupiah. Harus berapa penghasilanku untuk membeli batik sebagus itu?
"Ini ruangan Pak Aryo, direktur di sini." Bu Mita menunjuk sebuah ruangan yang terletak paling depan, tak jauh dari pintu masuk, bersebelahan dengan meja resepsionis dan ruang untuk menerima tamu. Dugaanku ruangan itu dulunya kamar utama dari rumah ini.
"Bukannya Bu Hardjo direkturnya?"
"Sekarang semua dipegang Mas Aryo anak bungsunya. Ibu dan Bapak sudah pensiun."Sudah pensiun? Waktu menemui Bu Hardjo bulan lalu, menanyakan apakah tawaran pekerjaannya masih berlaku, tanpa banyak bicara dia mengiakan dan meminta bekerja begitu kontrakku di sekolah selesai. Bu Hardjo tidak mengatakan apa-apa mengenai usahanya yang kini dipegang anaknya. Dan tanpa kuduga sikap Bu Hardjo sangat baik.
Bu Hardjo memiliki tiga anak, dua anak perempuan dan satu lelaki. Dulu aku suka melihatnya saat ikut Ibu membantu di rumah Bu Hardjo ketika ada acara besar seperti selametan atau hajatan
Kami tidak saling kenal, aku hanya tersenyum malu-malu jika bertemu anak-anak Bu Hardjo dan mereka membalasnya sambil mengajukan pertanyaan basa-basi,"Sekolahnya sudah kelas berapa?" atau "Namanya siapa?" Pertanyaan yang sama setiap kali bertemu. Mereka tidak pernah hafal namaku tapi aku hapal nama mereka, Mba Anti dan Mba Ratna, usia mereka jauh di atasku. Anak lelaki Bu Hardjo, aku tidak ingat nama, juga wajahnya karena tidak seperti kedua kakaknya yang suka tersenyum dan bertanya basa-basi, anaknya yang lelaki tak acuh, hampir tidak pernah menyapa. Yang kuingat saat aku masih duduk di sekolah dasar, anak lelaki Bu Hardjo sudah SMA.
Selesai berkeliling, aku duduk di meja kerja, satu ruangan dengan Bu Mita dan seorang gadis bernama Andini, anak kuliah yang tengah magang di sini. Andini tipe gadis ibukota, pakaian yang dikenakannya terlihat mahal dan modis, ber make up komplit tapi tidak tebal, kulitnya putih bersih, dan terlihat percaya diri. Jujur ini membuat aku sedikit minder.
Pekerjaanku ternyata tidak sesuai dugaan, tidak di tempatkan di gudang. Menurut Bu Mita membantu pekerjaan Pak Aryo dan Pak Hendri.
Aku melongokkan kepala ke arah jendela ketika terdengar suara kendaraan mendekat. Sebuah mobil Alphard hitam berhenti di area parkiran. Dugaanku ini mobil direktur yang tidak lain anak Bu Hardjo. Mobil semewah dan semahal itukan hanya bisa dimiliki para bos.
Seorang lelaki setengah baya yang berada di balik kemudi mobil keluar dan membukakan pintu menumpang lalu menarik semacam plat besi dan diturunkan ke bawah, tak lama sebuah kursi roda dengan seorang lelaki muda yang duduk di atasnya turun. Supir itu menutup pintu mobil, sementara kursi roda bergerak ke arah kantor. Sepertinya kursi roda itu dilengkapi dengan sistem yang serba otomatis karena tadi lelaki itu hanya memijat tombol di lengan kursi untuk menggerakkannya, bukan mendorong dengan tangan. Kursi roda itu juga terlihat eksklusif, dengan bantalan hitam bersih dan besi yang mencilak.
"Pak Aryo datang ya? Andini menjulurkan kepala mengikuti arah pandangku.
"Oh itu Pak Aryo." Aku lupa mengontrol rasa kaget."Lagi sakit ya?"
"Bukan, dia jadi begitu karena kecelakaan," bisik Bu Mita.
Jadi begitu maksudnya menjadi cacat karena kecelakaan? Apakah aku melewatkan cerita Ibu? Biasanya Ibu selalu update soal keluarga Bu Hardjo. Atau mungkin Ibu pernah menceritakannya tapi aku mengabaikan karena terlalu sering Ibu cerita soal keluarga Bu Hardjo.

KAMU SEDANG MEMBACA
Complicated Boss
ЧиклитCerita dengan genre chicklit, komedi romantis. Romantika working girls, bukan drama cinta ala CEO. Hai-hai cerita ini akan republish/revisi yang belum selesai baca ditunggu ya Waktu selalu punya cara membuat kejutan tak terduga, terutama dalam hal...