Bab 2

601 62 6
                                    

Makasih yang sudah mengikuti cerita ini, mau donk vote dan komennya...


Flash back

Hari yang tidak akan pernah kulupakan, ketika Bu Hardjo menolak lamaranku untuk bekerja di gudang batiknya. Aku tidak akan sakit hati jika Bu Hardjo menolak dengan halus, bukan berkata ketus sambil mendelik.

Lebih dari setahun lalu, aku datang ke kantor Bu Hardjo, merendahkan diri, meminta pekerjaan setelah tiga bulan lulus kuliah dan masih nganggur. Sedikit dilanda putus asa karena tidak ada satu pun lamaran kerja yang aku apply mendapat feed back. Aku memutuskan bekerja apa saja, gaji berapapun asal halal, sebelum mendapat pekerjaan layak sesuai ijasah. Istilahnya cuma jadi kuli di gudang Bu Hardjo pun tidak apa-apa. Aku malu di rumah terus walaupun Ibu tidak banyak berkomentar.

"Ijasahmu kan guru Yu, nggak cocok di sini. Nggak mampu Ibu menggaji lulusan sarjana kalau cuma untuk kerja di gudang," katanya dengan mata mendelik dan bibir tertarik ke bawah.

"Ibu tidak usah melihat ijasah saya, gajinya sama seperti yang lain saja."

"Ya nggak bisa juga Yu, di gudang ada yang sudah bekerja bertahun-tahun, masa gaji karyawan baru sama dengan karyawan lama."

"Maksud saya, gaji disesuaikan dengan standar pegawai gudang baru, Bu." Bu Hardjo bukan orang bodoh, bukan juga tipe orang lugu, jadi dia pasti paham, aku melamar jadi pekerja gudang ya gaji disesuaikan dengan standar pekerja gudang baru. Dia bicara seperti itu hanya untuk menyindir.

Bu Hardjo menghela nafas, melepas kaca mata lalu berdecak."Terus kalau kamu tiba-tiba dapat panggilan wawancara di tempat lain dan keterima kamu kabur dari sini?" delikan matanya seolah berkata,"Enak saja kamu, Yu."

Aku tidak akan tersinggung dan bisa memberikan senyum tulus jika saja Bu Hardjo berkata,"Maaf Yu saat ini belum ada lowongan." Atau mengganti kata kabur dengan resign, kabur kan konotasinya negatif, pergi begitu saja tanpa ijin.  Kalau misalnya aku diterima kerja Bu Hardjo kemudian keluar, pasti aku akan bilang baik-baik, nggak mungkin kabur begitu saja.

Kadang aku berpikir, Bu Hardjo pernah nggak sih ketiban susah, ya semacam dapat balasan karena membuat banyak orang tersinggung dan sakit hati dengan kata-katanya. Aku bukannya mendoakan Bu Hardjo mendapat karma, tapi menurutku suatu hari Bu Hardjo pasti kena batunya. Maaf bukan aku mendoakan, tapi hukum tabur tuai itu berlaku. Ya Tuhan, jika kelak aku jadi orang kaya, orang sukses, jauhkan aku dari sifat seperti Bu Hardjo.

Aku pamit pada Bu Hardjo dengan kepala tegak dan senyum yang kubuat semanis mungkin. Aku tidak mau terlihat berwajah layak dikasihani atau 'kalah'.

Tapi siapa duga beberapa bulan kemudian, Bu Hardjo datang ke rumah dan menawariku pekerjaan, saat itu aku sudah bekerja sebagai guru di sebuah sekolah swasta.

"Yu, tadi Bu Hardjo mampir, katanya ada lowongan di kantornya kalau kamu mau." Ibu duduk di sampingku.

"Ibu bilangkan sama Bu Hardjo kalau Ayu sudah kerja." Aku mengalihkan tatapan dari layar televisi.

"Iya tapi Bu Hardjo minta kamu ke kantornya besok."

"Besok? Ayu kan ngajar sampai sore Bu."

"Ibu juga bilang begitu. Bu Hardjo minta kamu wa atau telp, ngabarin kapan kamu bisa menemuinya."

"Nggak minat kerja di sana Bu, betah ngajar di sekolah."

"Ya kalaupun kamu menolak sebaiknya tetap temui Bu Hardjo, bicara baik-baik. Kamu ada nomor teleponnya kan?"

"Iya ada." Percakapan yang seketika menghilangkan moodku menonton. Di benakku langsung terbayang delikan mata Bu Hardjo saat sedang bicara, lengkap dengan senyum sinis dan kata-kata sindiran. Aku menghindari berurusan dengan Bu Hardjo kecuali karena terpaksa dan itu sudah kulakukan berbulan- bulan lalu dan tidak mau mengulangi lagi.

"Kamu harus hubungi Bu Hardjo, kabari kapan kamu bisa menemuinya. Kalau kamu tidak menerima tawarannya katakan dengan sopan dan santun."

"Iya." Tentu saja dengan sopan, santun dan senyum basa-basi yang manis. Betapa menyebalkan harus berpura-pura menjadi baik dan sopan di depan orang yang memandangmu lebih rendah.

"Sebenarnya Bu Hardjo itu baik tapi dia tidak pandai basa-basi," ucap Ibu seperti tahu isi hatiku. Dan ini bukan pertama kalinya Ibu membela Bu Hardjo dengan kalimat pembuka, "Sebenarnya Bu Harjo baik tapi...

"Bu, orang baik tak harus pandai basa-basi. Orang baik tahu memilih kata mana yang baik diucapkan mana yang tidak agar tidak menyinggung lawan bicaranya atau terkesan merendahkan."

"Ya kan maksud Bu Hardjo tidak selalu seperti itu."

Aku menghela nafas. Percuma mendebat karena Ibu akan tetap menyebutkan kebaikan Bu Hardjo. Hal yang sama Ibu lakukan jika ada orang yang mengaku tersinggung dengan perkataan Bu Hardjo. Dengan santun dan lembut, Ibu akan berkata,"Sebenarnya Bu Hardjo orang baik tapi agak tinggi hati." "Sebenarnya Bu Hardjo orang baik tapi agak pelit." Dan sederat kata sebenernya dan tapi lainnya.

Aku tidak tahu apa yang ada dipikiran Ibu saat mengatakan itu, yang pasti membuat aku malu jika diucapkan di depan orang yang jelas-jelas sudah tersinggung dengan sikap atau perkataan Bu Hardjo, karena terkesan Ibu merendahkan dirinya demi Bu Hardjo.

Tentu saja Ibu pernah kena kata-kata tajamnya Bu Hardjo,"Si Ayu mau kuliah S1? Apa sudah dipikirkan baik-baik, biayanya tidak sedikit lho, Jeng. Kuliahnya juga lama, sudah lulus belum tentu langsung dapat pekerjaan. Ujung-ujungnya jadi ibu rumah tangga. Pikirkan lagi Jeng. Kalau nggak kuliah juga dia bisa kerja di sini, bantu-bantu di gudang."

Aku kira Ibu akan menuruti saran Bu Hardjo, ternyata sebaliknya. Sementara aku berusaha melengkapi persayaratan agar mendapat beasiswa, Ibu menggadaikan cincin kawinnya untuk membeli perlengkapan kuliahku.

Complicated BossTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang