G8. [ Temukan Jalan ]

7 2 13
                                    

Pagi ini air menitik dari langit, membasahi Gevangenis. Terlihat kabut menutupi hutan sekitar. Sungguh suasana pagi yang tenang ... dan dingin.

Felly hanya mengamati rintik hujan lewat jendela kamar, ia sesungguhnya tengah menanti seseorang. Bosan rasanya, Felly masih memiliki keinginan untuk mendaratkan badannya ke kasur, menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut dan kembali ke alam mimpi. Seperti tiga temannya saat ini, yang masih tertidur nyenyak dalam kehangatan.

Ini masih pukul setengah enam pagi. Masih tersisa setengah jam lagi untuk bangun tidur dan melakukan aktivitas di Gevangenis. Entah mengapa Felly bangun terlalu pagi hari ini, padahal sebelumnya dia selalu terbangun akibat keributan yang dihasilkan teman-temannya yang sudah bangun duluan. Setidaknya penyakit susah bangun tidurnya tidak separah Nara.

Eh.

Meski samar-samar, Felly dapat melihat bayangan yang melintas di halaman belakang. Dia mengamati lamat-lamat halaman kosong itu- memastikan bahwa penglihatannya tidak salah dalam menangkap objek. Tidak terlihat apapun lagi, mungkin saja dia salah lihat.

"Felly, kau tumben bangun pagi?" Suara seseorang mengejutkan Felly, dia segera mengalihkan pandangan dari kaca jendela, mencari sosok yang bersuara.

Ternyata itu adalah Dzila. Mungkin saja gadis itu memang terlatih untuk bangun tidur sebelum pukul enam tepat. Sementara dirinya yang selalu terlambat bangun tidur, memang pantas dipertanyakan alasannya terbangun pagi.

"Ya ... entah." Felly mengangkat bahu. "Aku gak bisa tidur," ucapnya memberi alasan.

Dzila hanya mengangguk, lantas termenung memandang kamar mereka. Memperhatikan dua teman yang belum terbangun, Aya dan Nara.

"Menunggu Rezz, ya?" terka Dzila, sesaat melihat ke pintu kamar. Dugaannya seratus persen benar, Felly memang sedang menanti gadis yang selalu sial itu. Tanpa ada alasan sama sekali.

"Aku memiliki banyak pertanyaan untuknya. Tapi sayang sekali, mustahil itu ditanyakan." Dzila bersuara kembali, tahu bahwa Felly tidak membalas perkataannya. Dia juga tidak memerlukan balasan, setidaknya cukup ada seseorang yang mendengarnya.

"Aku lebih ingin bertanya kepada Aditya."

Dzila mengangkat alis. Dia yang mati paling awal dalam permainan kemarin jelas tidak mengetahui apapun yang terjadi. "Aditya kenapa?" tanyanya.

"Ada kesalahan di Rumah Timur. Makanya Nara mati dalam permainan kemarin. Kesalahan itu- aku tidak tahu apa maksudnya. Hanya Aditya dan Nara yang tahu," jelas Felly selengkap mungkin. Dia tahu bahwa Dzila juga harus mengetahui informasi ini, karena hanya dirinya saja yang tidak menyaksikan bagaimana kasus kesalahan Rumah Timur yang terjadi kemarin.

Nara dan Aya juga tidak membahas hal itu kemarin, membuktikan bahwa mereka melupakannya. Mau bagaimanapun caranya, tetapi Gevangenis selalu bisa membungkam semua yang terjadi. Mungkin karena itu sekolah ajaib ini tidak pernah disadari oleh dunia luar.

Tetapi aneh juga, apabila Nara dan Aya telah dihilangkan ingatannya lagi, mengapa Felly justru masih mengingatnya? Bahkan Dzila kini mengetahui kesalahan di Rumah Timur kemarin dari ceritanya.

"Aku hanya ingin tahu kenapa kita yang harus menjadi murid di sini," celetuk Dzila. Pertanyaannya sederhana, hanya itu saja yang perlu ia ketahui saat ini. Sementara pertanyaan lain mengenai keajaiban Gevangenis, dia rela bersabar menunggu waktu memberitahu semuanya.

Seandainya para guru memberikan jawaban pertanyaan sederhana itu kepada Dzila, maka Dzila akan diam dan mengikuti semua permainan dengan tenang. Dzila tidak akan berniat penasaran lagi dengan semua keajaiban mengerikan Gevangenis, dia akan menjadi murid yang baik. Seperti dulu, dia selalu berusaha menjadi anak baik karena alasan yang bagus; Dzila adalah anak emas keluarga.

GEVANGENIS (COLLAB GROUP)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang