Happy reading!
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.Shea Gabriellea Mahesa. Gadis remaja yang cantik. Tinggi badannya sangat pas dengan tubuhnya yang ramping, rambut hitam panjang tergerai hingga sebatas pinggang, sepasang bola mata beriris coklat dinaungi bulu-bulu lentik tepat dibawah sebentuk alisnya yang indah bagaikan semut beriringan. Hidungnya mancung dan bibir ranum semerah delima, kemudian disempurnakan oleh kulit putih mulus tanpa ada cacat sedikitpun, membuat siapapun yang melihatnya akan terpesona.
Gadis itu duduk bermenung di bangkunya memikirkan rencana agar bisa mendapatkan kata maaf dari Shaka. Semalaman ia dihantui rasa bersalah. Wajah datar cowok itu terus saja terbayang-bayang dalam benaknya, hingga saat ini rasa bersalah terus saja menguasai otaknya. Bahkan materi yang Bu Tuti [ guru matematikanya] berikan tidak di acuhkan.
Sebuah penggaris kayu panjang mendarat tepat di meja Shea dengan keras membuat suara yang sangat nyaring untuk didengar. Cewek itu tersentak.
"Sekarang bukan waktunya untuk menghayal, paham?!" Jelas Bu Tuti lantang.
Karena sadar telah menjadi pusat perhatian, Shea pun menundukkan kepalanya sebagai permintaan maaf.
"Sekarang kamu maju ke depan, terangkan kembali materi yang ibu sampaikan," perintah Bu Tuti.
"A-anu bu, maaf tadi saya kurang memperhatikan. Jadi saya tidak bisa menjelaskan secara detail materi yang telah ibu berikan." Shea menggaruk kepalanya jengah.
"Oke. Kalau begitu kerjakan soal di papan tulis, Sekarang!" Bu Tuti berteriak marah, matanya melotot seperti setan.
Shea tak bisa mengelak. Mau bagaimanapun juga, ini tetap kesalahannya. Seharusnya ia tak memikirkan rancangan rencana disaat jam pelajaran. Karena cowok sialan itu waktu belajarnya jadi terganggu dan berujung seperti ini.
Kedua bahunya merosot saat melihat deretan angka-angka yang tersusun rapi hingga baris ke-lima. Ia menolehkan kepalanya kebelakang saat Bu Tuti sedang sibuk dengan ponsel. Berulang kali dirinya mencoba memberikan kode pada kedua sahabatnya. Namun usahanya sia-sia, dua manusia curut itu malah menghindari kontak mata dengannya.
"Ngapain kamu!"
Penggaris dengan panjang satu meter memukul papan tulis membuat Shea tersentak untuk kedua kalinya. Tampak Bu Tuti berdiri dengan berkacak pinggang.
"Nggak ada yang nyuruh kamu buat kode-kodean sama teman, kerjakan sebisa mungkin!"
Shea menghela napasnya pasrah. Dengan otaknya yang sebesar biji semangka, ia mulai mengerjakan soal satu persatu. Meskipun dirinya tidak tahu bagaimana cara agar bisa mendapatkan jawaban yang tepat.
"Sudah Bu." Shea kembali ke kursi dengan langkah gontai. Tak mau berharap lebih, feeling nya sudah mengatakan bahwa jawabannya salah.
"APA-APAAN INI HAH?! JAWABANNYA NGAWUR SEMUA!" Mata Bu Tuti memerah, dia menatap tajam ke arah Shea.
Dugaannya tepat sasaran. Dia membalikkan badan yang gemetar menghadap Bu Tuti. "I-ibu jangan marah ya, sesungguhnya berbeda pendapat itu adalah rahmat."
"Heh enak aja lo! Kalau berbeda pendapat itu adalah Rahmat, padahal udah jelas kalau gua itu manusia bukan perbedaan!" Rahmat teman sekelasnya, protes karena namanya dijadikan sasaran untuk meredakan amarah Bu Tuti.
KAMU SEDANG MEMBACA
Two Months
Teen FictionBagaimana jadinya, jika seorang Shea Gabriellea Mahesa harus berurusan dengan cowok cuek yang dinginnya melebihi kulkas 2 pintu? Ini terjadi karena gadis itu terlalu ceroboh. Gara-gara menikmati kue jahenya sembari bersepeda, Shea tak sengaja menab...