6. Seblak

89 62 18
                                    


Happy reading!
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Wanita paruh baya yang masih mengenakan pakaian kantor lengkap, menatap kedua anak yang menundukkan kepala. Tangannya ia silangkan tepat didepan dada. Matanya merah padam setelah melihat seisi rumah yang terlihat berantakan bagaikan kapal pecah.

Sandra mulai mendekati kedua anaknya. "Udah selesai mendekor ruangannya?"

Tak ada yang mau menjawab pertanyaan Sandra. Shea semakin menutupi seluruh wajahnya dengan rambut hitam miliknya. Takut, itulah yang saat ini dirasakannya.

"Kenapa nggak dijawab sayang? Mama nggak bakal marah," ujar Sandra sedikit memberikan ketenangan. Walaupun hatinya saat ini benar-benar bergejolak dengan amarah, namun amarah itu tak boleh ia keluarkan. Mau bagaimanapun manusia yang berdiri tepat dihadapannya tetaplah kedua malaikat kecil yang selama ini ia besarkan.

Dengan ragu, Shea menyibakkan rambutnya kebelakang telinga yang menutupi wajahnya. Kemudian, menatap netra Sandra dengan sedikit rasa takut.

"Astaghfirullah bang, adek kamu kenapa mukanya lecet semua?" Sandra menyentuh setiap luka yang terukir di wajah putrinya secara perlahan.

Xavier mengangkat kepala, kemudian mengangkat kedua bahunya. "Kurang tau Ma, pulang-pulang mukanya udah kayak gembel."

Pupil mata Shea bergerak ke kanan dan ke kiri. Tak tahu harus menjawab apa, yang jelas ia tak mau Sandra mengetahui apa penyebabnya.

Sandra dan Xavier menatap Shea absurd, bisa dilihat dari mimik wajah gadis itu seperti orang yang tengah diinterogasi.

"Adek abang yang lucuk, imut, cantik, dan menggemaskan ada apa gerangan? Gitu amat muka lo kaya habis yang dikejar-kejar rentenir."

"Ih bangke ya lo Kavir! Beresin aja ini rumah sendirian, gua mau tidur. Kepala gua sakit gara-gara lo tau nggak!" Oceh Shea. Ia berjalan dengan kaki pendeknya, namun ia mengambil langkah terlalu lebar.

"Shea omongannya ya ampun." Sandra mengusap wajahnya gusar. Memang putri bungsunya ini seringkali tak bisa menjaga tutur katanya.

"Peduli apa Shea? Nggak ada Ma," tuturnya sebelum kembali menaiki anak tangga satu persatu.

Sandra hanya bisa mengelus dada, melihat tingkah laku Shea. Terkadang sikap putrinya ini selalu berubah-ubah sesuai kemauannya.

•°•°•°

Ponselnya terus saja berdering, telinganya merasa muak. Karena merasa terganggu wanita itu menslide tombol merah. Hembusan napas gusar terdengar  begitu panjang, tangannya menarik rambut coklat keabu-abuan.

Berkas-berkas berserakan dimana-mana, ia lelah jika harus menangani ini seorang diri. Segelas kopi hangat kini menjadi dingin karena diacuhkan olehnya.

Dentingan notifikasi ponselnya kembali terdengar, dengan keterpaksaan ia membaca satu persatu pesan yang dikirim oleh anak perempuannya.

Setelah membaca semua pesan itu, layar ponsel yang semula room chat menjadi panggilan masuk. Mau tidak mau ia menekan tombol hijau.

Setelah sekian lama tak pernah berkomunikasi, akhirnya ia dapat kembali mendengar suara lembut putri kecilnya. Gelak tawa gembira terdengar, Anita hanya mampu tersenyum tipis.

Two Months Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang