8. Ayah

79 54 21
                                    

Happy reading
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Malam ini cahaya bulan tak terlihat dan jalanan begitu lengang. Toko-toko telah tutup, lampu-lampu taman pun sudah dipadamkan. Cowok jangkung mengenakan kemeja hitam dan celana jeans hitam keabu-abuan melesat dengan sebuah mobil kekar buatan jepang yang membelah malam, menyingkap paksa tirai gerimis yang terus berderai. Mobil itu berhenti di atas rumput basah dan sunyi.

Sepatu pantofel hitam menginjak tanah dengan sempurna. Rintik air hujan mulai membasahi sekujur tubuhnya. Kakinya berjalan ke arah belakang mobil, membuka bagasi, dan mengambil payung dari dalam sana.

Dari kejauhan terlihat gadis ber dress biru langit duduk merenung dihadapan gundukan tanah. Disini, dibawah gundukan tanah ini, ada jasad Seano yang sudah terkubur selama satu tahun lamanya.

"Pa, Nggak kangen sama Shea apa?" Shea memegang batu nisan sang ayah dengan dada yang terasa sesak. "Udah lama loh papa di sini, pulang yok pa," ajaknya.

Disaat-saat itu, payung terbuka lebar melindungi Shea dari derasnya hujan. Tubuh gadis itu gemetaran, wajahnya terlihat begitu pucat, bibirnya membiru karena kedinginan, matanya sembab bagai tersengat lebah. Kepala gadis itu mendongak ketika menyadari tak ada lagi rintikan hujan yang mengenai tubuhnya.

"Udah?"

Shea kembali meluruskan pandangannya kedepan. Sebelum ia meninggalkan tempat ini, tak lupa ia mengirim untaian doa yang ia lafadz kan, agar sang ayah bisa tenang di alam sana.

Shea memejamkan matanya saat kenangan bersama sang ayah terlintas dalam benaknya. Jarinya mengelus batu nisan, seakan batu tersebut wajah milik Seano.

Shea kembali menumpahkan air matanya. Jujur saja, Shea sama sekali belum bisa mengikhlaskan kepergian ayahnya.

Tangisan Shea semakin menjadi-jadi.

Xavier mensejajarkan tubuhnya, kemudian memeluk tubuh Shea dengan perasaan yang benar-benar hancur.

Ia tak kuasa jika harus mendengar tangisan adiknya, hatinya terasa seperti sedang disayat secara perlahan oleh benda tajam.

Xavier semakin mengeratkan pelukannya, saat ia melihat tetes demi tetes air mata Shea jatuh ke bawah sana. Sebenarnya ia juga merasakan hal yang sama.

Namun, ia harus tetap terlihat kuat. Supaya Shea tak semakin larut dalam kesedihannya.

"Ikhlasin Shey, kalau lo nggak bisa ikhlas atas kepergian papa, gimana dia mau tenang?" Xavier mengelus rambut basah Shea. "Percuma kalau lo ngirim doa buat papa, sedangkan lo masih belum bisa ikhlas."

Xavier membawa tubuh mungil Shea agar segera menjauh dari makam Seano.  "Kita pulang."

"Tapi papa gimana bang?" Rengek Shea dengan bibir bergetar.

Kali ini Xavier tak bisa membohongi dirinya lagi, dia ingin kuat. Tapi setetes air mata lolos terjatuh dari matanya.

Jika Xavier bisa mengubah sebuah takdir, ia hanya ingin kecelakaan beruntun itu tak terjadi. Tapi, semua ini sudah menjadi ketetapan tuhan, tak akan ada yang bisa mengubahnya, jadi ia hanya perlu mengikuti alurnya saja.

Two Months Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang