iv.

38 8 5
                                    

: kamu, dimana?

* * *

Author's POV

SETALAH KEPULANGAN KETIGA TEMANMU ITU, tentu saja rumahmu menjadi sepi lagi. Namun, tidak lama setelah itu, bundamu pulang. Yah, jadi sebenarnya tidak langsung se-sepi itu, sih.

“Temenmu udah pada pulang, ya?” Tanya bundamu begitu pulang dari—entah, bepergian mungkin.

Jam sudah menunjukkan pukul empat sore. Lagipula, ini adalah hari libur, bundamu tidak mungkin bekerja pada hari ini.

“Iya, udah,” jawabmu singkat setelah membukakan pintu, kemudian menuju ke meja makan, meletakkan makanan yang dibawakan oleh ibumu. “Tadi ada yang aku bawain cookies di kulkas, gapapa kan, Bun?” Tanyamu memulai pembicaraan.

Kemudian, wanita yang sangat amat kamu sayangi itu hanya menganggukkan kepalanya. “Semangat lombanya, semoga menang ya, sayang. Maaf bunda nggak bisa bantu banyak.”

Ah, sungguh, kamu sangat amat tidak suka situasi seperti ini. Kamu hanya mengucapkan "tidak apa-apa" sebagai balasannya. Bagaimanapun juga, kamu tahu beban yang dibawa oleh ibumu jauh lebih berat dari dirimu. Kamu tidak dapat menyalahkannya jika terkadang ia kurang memperhatikan dirimu.

Banyak hal tentang dirimu yang belum terulik disini.

Pertama, kamu adalah anak tunggal dari seorang orangtua tunggal juga. Kematian ayahmu dua tahun lalu sangat memukul dirimu dan ibumu. Sehingga terkadang, kalian berdua kurang dekat. Bahkan saat awal Kematian ayahmu dulu, kamu dan ibumu menjadi canggung.

Padahal sebelumnya, kalian berdua sangat dekat.

Setelah ucapan ibumu yang sepertinya akan sedikit menyinggung topik yang tidak begitu kamu sukai, yaitu tentang kenapa dia tidak bisa begitu perhatian padamu, tidak bisa sering berada di rumah, dan hak serupa lainnya—kamu langsung menjauhi meja makan.

Bukan berati masuk ke kamar—selain karena menurutmu ini tidak sopan, menghindari pembicaraan dengan orangtua, ibundamu sedang menyiapkan makan malam untuk kalian berdua.

Jadi sembari menunggu, hal yang kamu putuskan untuk lakukan adalah menonton tv.

Setelah melewati makan malam yang sedikit canggung, akibat ibumu sedikit menyinggung masalah ayahmu dulu, kamu langsung kembali ke kamar. Mengingat, hal yang ibumu lakukan juga tidak jauh beda.

Dengan begitu, tidak lama setelah kamu kembali ke kamar, kamu langsung terlelap. Hari ini tidak se-melelahkan itu.

* * *

Semalam, yang kamu lakukan adalah rutinitas seperti biasanya. Makan malam, belajar sebentar, kemudian mengecek hp, setelahnya tidur kalau kamu sudah mulai mengantuk.

Tapi, pagi hari ini lain.

Kamu terbangun di sebuah rumah yang jelas tidak kamu kenali. Semenjak bangun disini, ada beberapa hal yang sudah kamu perhatikan sejak awal.

Pertama, rumah ini kuno. Meskipun bagus, sangat terlihat bahwa rumah ini dibangun jauh sebelum kamu lahir. Kamu terbangun di sebuah kamar, terdapat satu ranjang untuk satu orang dan sebuah lemari—lagi-lagi kamu tidak bisa berhenti mengucapkan kata kuno.

Sebuah meja belajar, cermin yang menjadi satu di lemari, nakas di sebelah tempat tidur, dan jendela menuju ke luar. Asumsimu, kamu berada di lantai dua sekarang. Alias, rumah ini memiliki dua lantai.

Ingin membuktikan itu, kamu mendekati jendela itu, kemudian membukanya dengan kedua tanganmu. Perlahan, kayu itu mulai terbuka. Tidak langsung menuju ke luar, ternyata setelah dua belah kayu itu ada kaca yang melapisinya.

Dan benar. Tidak salah lagi. Meskipun tidak asing dengan latar tempat ini, kamu yakin dengan jelas bahwa ini bukan di kotamu, ini bukan tahunmu, dan ini bukan lingkunganmu.

Kriett....

Kamu sontak menoleh ke arah suara tersebut. Ternyata, itu adalah suara pintu kayu yang dibuka. Benar dugaanmu. Rumah ini kuno.

Dengan posisimu yang masih memandangi jendela, kamu hanya berbalik menatap pintu itu. Yang kamu lihat, seorang wanita paruh baya—mungkin seumuran ibumu, memasuki kamarmu, ah salah. Lebih tepatnya kamar dimana kamu bangun.

“Loh, kok kamu udah bangun? Istirahat dulu, masih panas nggak badannya?” Begitu melihatmu yang menghadap ke jendela, wanita itu langsung menodongimu beberapa pertanyaan.

Mendengar kata panas, kamu langsung menyentuh keningmu sendiri. Ah, benar. Ternyata badanmu lumayan panas. Kamu masih mencerna semuanya. Bahkan, kamu tidak bergerak dengan posisi tanganmu yang masih menempel di keningmu.

Wanita itu kemudian menarik tanganmu yang satunya. Menyeretmu kembali menuju tempat tidur, kemudian mendudukkanmu. “Supnya masih anget, makan sendiri udah bisa, kan? Obatnya ada disitu. Nanti istirahat lagi, ya. Ibu tinggal dulu.”

Kamu hanya bisa mengangguk patah-patah. Sungguh, kamu sangat takut dalam bereaksi—untuk sekarang.

Setelah mengucapkan kalimat panjangnya, wanita itu langsung keluar dari kamarmu. Oke, mulai dari sekarang, mari anggap kamar ini adalah kamarmu. Selain karena sikap wanita itu—yang sepertinya ia adalah ibumu tadi, kenyataan bahwa kamu terbangun di kamar ini menunjukkan bahwa kemungkinan tersebut ada benarnya.

Kamu segera memakan sup yang dibawa oleh ibumu tadi. Sup, minuman obat—yang menurutmu bentuknya agak aneh, dan minuman, tertata rapi di atas nampan yang diletakkan di nakas oleh ibumu itu.

Setelah menghabiskan semuanya, kamu kembali duduk dengan bersender di tempat tidur. Kembali mencerna semuanya, tentu saja dengan cara melamun.

Ini semua aneh....

Dan tentu saja, ketika pikiranmu sudah mulai menggantung, dan memikirkan segala kemungkinan termasuk kemungkinan terburuk, alias melebar kemana-mana. Hal yang akhirnya kamu putuskan adalah kembali tidur.

Yah sepertinya, dalam situasi seperti ini kamu hanya bisa kembali tidur.


































°







































12 Mei 2024.
pesan :: jujur, aku kalo "masuk" kesini udah stress duluan kali ya? mending tidur aja sih emang wkwk








escape | levi ackerman.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang